ANALISIS UNSUR INTRINSIK KUMPULAN CERKAK
Oleh :
Nama : Syamsul Arif
Nim : 076168
Jurusanan : Bahasa dan Sastra Indonesia
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2007 D
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil Alamin, segala puji bagi Allah yang telah memberikan rahmatnya kepada kita semua, dan sholawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada junjungan kita nabi Agung Nabi Muhammad SAW. Penulis bersyukur kehadirat Allah SWT yang memberikan kesempatan dan kekuatan untuk membuat makalah ini. Tanpa izin dan kehendak Allah kami tidak bisa melakukan apa-apa. Makalah ini adalah merupakan kerja individual yang ditugaskan kepada kami, yang memberikan kontribusi banyak manfaat kepada kami karena makalah ini merupakan bekal kami untuk memahami karya sastra yang ditinjau dari sosiologinya.
Kami juga berterima kasih kepada bapak dosen pembimbing yang telah membimbing kami dalam menyelesaikan makalah ini. Dan tak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah memberikan bantuan kepada kami baik spiritual maupun material yang bermanfaat bagi kami, karena dukungan dan semangat dari teman-teman kami bisa cepat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini merupakan sebuah ulasan yang mengenai sebuah karya perlu adanya mediasi, dan dalam penelitian ini kami menggunakan metode penelitian yang beraliran strukturalisme , karena dalam kumpulan cerkak yang saya teliti ini merupakan cerkak dimana bisa dimengerti dengan mudah oleh pembaca dengan mengkaji unsur-unsur cerkak itu endiri dari berbagai aspek. Seperti yang dikatakan oleh Hartoko, (1986:135-136 dalam Yapi taum, 1997:38) bahwa teori strukturalisme sastra merupakan sebuah teori pendekatan terhadap teks-teks sastra yang menekankan keseluruhan relasi antar berbagai unsur teks.unsur-unsur teks secara berdiri sendiri tidaklah penting. Unsur-unser itu memperoleh artinya didalam relasi, bauik relasi asosiasi ataupun relasi oposoisi. Relasi-relasi yang dipelajari dapat saling berkaitan dengan mikroteks (kata, kalimat) keseluruhan yang lebih luas (bait, bab) maupujn intertekstual (karya-karya lain dalam periode tertentu)relasi tersebut dapat berwujud ulangan, gradasi atau kontras dn parody.
asumsi peneliti adalah merupakan cerminan realistic. Kumpulan cerkak ini menceritakan kehidupan seseorang yang penuh dengan lika-liku kehidupan. Dan pengungkapan relitas kehidupan masyarakat dalam pengungkapan bahasa yang indah sehingga dapat menyentuh emosi pembaca.
Penulis juaga berharap semoga makalah ini bisa dibaca oleh semua pihak dan bermanfaat.
Penulis .
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Satra adalah seni. Seni sastra bersifat imajinatif. Artinya peistiwa-peristiwa yang i kemukakan dalam bentuk sastra bukan peristiwa yang sesungguhnya, tapi merupakan hasil rekaan pengarang. Melalui daya khayalnya pengarang pikiran, ide dan perasaan dengan mempergunakan bahasa sebagai alat untuk membangkitkan pesona cipta sastra. Dalam mewujudkan ide-idenya itu pengarang menggunakan materi penciptaanyang berupa pengalaman nyata yang dialaminya maupun [enghayatan terhadap kehidupan disekitarnya.
Secara umum karya satra melukiskan realita kehidupan masyarakat sehingga sastra dapat dipandang sebagai gejala sosial. Sastra yang ditulis pada kurun tertentu akan berkaitan dengan norma-norma dan adat-itiadat pada waktu itu. Sebagai cbang kesenian, sastra berfungsi untuk memperjelas, memperdalam dan memperkaya penghayatan manusia terhadap kehidupan mereka. Walaupun khayal yang diciptakan oleh pengrang bukan kenyataan tetapi dengan kepekaan cita rasanya. Masyarakat dapat berpikir mengenai hidup baik atau buruk, benar atau salah yang disajikan pengarang dalam karya nyata.
Karya sastra dibangun berdasarkan dua unsur dominan yaitu usur intrisik dan ekstrinsik. Keduamya merupakan unsur pembangun dalamd karya sastra.
Unsur intrinsik adalha unsur yang membangun karya sastra dari dalam. Dalamd unsur intrinsik terdapat dua segi, yakni segi isi dan bentuk. Tema dan amanat dapat dimasukkan kedalam segi isi, sedangkan yang gtermasuk kedalam segi bentuk adalah alur, setting, pusat pengisahan, penokohan, dan gaya bahasa. Antar isi dan bentuk merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Perpaduan yang harmonis akan menghasilakan karya yang bermutu.
Adapaun unsur ekstrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra dari luar yang dapat mempebgaruhi dan menunjang kehadiran cipta sastra, seperti faktor politik, filsafat, keagamaan, sosial masyarrakat dan sebagainya.
Sastra sebagai pengungkapan bakuy dari apa yang telah sisasksikan orang dalamd kehidupan, apa yang telah diperenungkan dan dirasakan orang mengenai segi-segi kehidupan yang paling menarik minat secara langsung lagi kuat pada bahasa (hardjana, 1981:10).
Dengan demikian untuk memahami karya sastra tidak mudah. Karya sastra sebagai ungkapan bahasa tidadk mungkin dapat dipahami tanpa pengetahuan mengenai bahasa tersebut. Berdasarkan pengertian diatas, maka unsur memahami suatu karya sastra dapat ditempuh dengan jalan menganalisis struktur karya sastra itu.
Analisis struktur membatasi diri pada pembahasan karya sastra itu sendir. Pembahasannya dilakukan secara intrinsik dengan melihat unsur-unsur yang membangun karya sastra sehingga menjadikan kebulatabn makna, yaitu unsur tema, alur, setting, sudut pandangan, penokohan dan gaya bahasa.
Setiapa hasil karya satra akan mencerminkan sifat-sifat dari penciptany. Sastrawan akan menghadirkan dirinya lewat karyanya. Lewat hasil karyaya sastrawan mengungkapkan realita kehidupan untuk direnungi, dihayati, dan dinilmati oleh pembaca. Demikian Halnya para pengarang cerkak adalah seorang cerpenis yang mampu menghidangkan permasalahan tentang kehidupan seorang dan menarkan solusinya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah unsur intrinsik cerkak ?
1.3 Batasan Masalah
Pembahsan ini dibatasi dengan pembahasan pada unsur intrinsik cerkak yang telah disajikan .
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Landasan Teori
Landsan Teori berisi uraian-uraian teori-teori yang dipakai dalam penelitian. Suatu teori memiliki fungsi yang cukup penting dalam memandu penelitian guna mendekati objek penelitian secara tepat dan akurat. Teori itu sendiri disusun berdasarkan fenomena yang empiris, yaitu gejala-gejala yang kongkrit dalam dalam kehidupan yang memperlihatkan hubungan keterkaitan yang jelas dan dapat diuji kebenarannya.(semi, 1993:43)
Pada Landasan Teori ini akan dibicarakan persolan-persoalan tentang pengertoan (1). Tinjauan Struktural (2) cerpen/cerkak sebagai karya fiksi (3) Pengertian cerpen/cerkak(4) unsur-unsur pembangun cerpen/cerkak (5) Tema Cerita (6) Penokohan. (7) Plot/Alur. (8) latar (9)point of View. (10) gaya bahasa . Pengambilan bahasan-bahasan tersebut berdasarkan pada satuan-satuan bahasan yang tersurat dalam judul penelitian, dengan harapan agar masaslah-masalah yang akan dikemukakan dan dijawab dalam penelitian mendapatkan arah yang tepat.
2.2 Pengertian Sastra
Dalam hal ini perlu diketahui juga bahwa apa sebenarnya sastra itu sendiri?. Untuk mengetahui definisi sastra, para sastrawan membuat batasan-batasan,dan batasan-batasan itupun tidak total dan tidak tepat, maka ada beberapa alasan mengapa batasan tetang sastra sulit untuk dibuat. Menurut jakob sumardjo dan saini K.M. (1986 : 1-2 ) sebagai berikut
1. sastra bukan ilmu, sastra adalah seni. Dalam seni banyak unsur kemanusiaan yang masuk didalamnya, khususnya perasaan, sehingga sulit diterapkan metode keilmuan.
2. sebuah batasan berusaha mengungkapkan hakekat sebuah sasaran. Dan hakekat sesuatu itu sifatnya universal dan abadi. Padahal apa yang disebut sastra itu tergantung pada tempat dan waktu.
3. batasan sastra itu sulit menjangkau hakekat dari semua jenis bentuk sastra. Sebuah batasan mungkin tepat untuk karya-karya sastra puisi tetapi kurang tepat untuk jenis novel.
4. sebuah batasan tentang sastra biasanya tidak berhenti pada membuat pemerian(deskripsi) saja tetapi juga usaha penilaian
walaupun tidak mungkin membuat batasan sastra yang memuaskan, tetap bermunculan pula batasan –batasan sastra. Ada yang menyatakan bahwa :
1. sastra adalah seni bahasa
2. sastra adalah ungkapan spontandari perasaan yang mendalam.
3. sastra adalah ekspresi pikiran dalam bahasa, sedang yang dimaksud pikiran disi adalah ide-ide, perasaan, pemikiran dan semua kegiatan mental manusia.
Dan meurut jakob sumardjo dan saini K.M. (1986 : 3 ) kiranya dapat dibuat batasan sastra dalam arti luas, yang tidak menunjuk satu nilai atau norma yang menjadi syarat sesuatu karya disebut karya sastra yang baik dan bermutu. Jadi batasan tadi dapat dinyatakan sebagai berikut :
sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakian dalam suatu bentuk gambaran kongkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.
Batasan ini bersifat deskripsi saja dan dapat mencakup semua karya sastra yang disebut bermutu atau tidak
2.3 Pengertian Analisis Struktur
Setiap karya satra memiliki struktur. Struktur adalah satu-kesatuan dari bagian-bagian yang kalau salah diubah atau dirusak akan berubah atau susaklah seluruh stuktur itu. ( Yakob Sumardjo dan Saini, 1991:142) dari pengertian tersebut dikatakan stuktur adalah suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian unsur-unsur yang saling berkaitan sehingga membentuk satu-kasatuan yang bulat dan utuh. Dengan demikian kesatuan struktur mencakup setiap bagian dadn sebaliknya setiap bagian menunujukkan keseluruhan yang tidak dapat dispisahkan.
Struktur suatu karya sastra terdiri dari beberapa unsur. Unsur-unsur itu antara lain tokoh, alur, tema, perwatakan, sudut pandang, setting, dan gaya. Pembahasan sutu karya sastra terhadap unsur-0unsur strukturnya dan bagaimana hubungan tiap-tiap unsur tersebut sisebut tinjauan unsur struktur atau aalisi struktur. Jadi tinjauan struktur dapat diartikan sebagai tinajauan unsur intrinsik karya sastra, yaitu segala unsur yang membangun karya sastra itu dari dalam. Unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam itu adalah hal-hal yang berhubungan dengan bentuk ( alur, latar, sudut pandang, perwatakan, gaya) juga hal-hal yang berhubungan dengan makna ( pembayangan peristiwa, tegangan, nada, suasana dan tema ).
Analisi struktur pada prinsipnay bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, mendetel dan sedalam mungkin keterkaitan semua unsur dan aspek kartya satra yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh (Teeuw, 1984:135). Analisi struktur bukanlah penjumlahan aasir-anasir itu tapi yang penting adalah sumbangan yang diberikan oleh tiap-tiap unsur itu terhadap keseluruhan makna sehingga dapat diketahui keterkaitan antara unsur-unsur itu untuk membentuk satu kesatuan yang utuh.
Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa analisis struktur merupakan tinjauan terhadap struktur karya satra itu yang bersifat otonom. Jadi yang dianalisis adalah unsur-unsur yang membangun karyua sastra itu. Hubungan antara unsur-unsur tersebut akan memperlihatkan makana yang utuh. Dengan kata lain karya satra harsu dipahami dengan secara intrinsik, dari dalam karya sastra itu sendiri, lepas dari latar belakang dari sejarah penciptaannya, bebas dari niat pengarang waktu mencipta dan lepasa dari efeknya pembaca.
2.3. Cerpen/Cerkak Sebagai Karya Satra
Istilah prosa fiksi atau cerita rekaan adalah cerita olahana pengarang berdasarkan pandanagan, tasfsiran dadn penilaian terhadap suatu peristiwa yang pernah terjadi atau peranah belangsung dalam khayalan (Chamidah, 1981:8). Aminuddin (1985:59) dalam bukunya mengistilahkan prossa fiksi dengan istilah prosa narasi atau cerita berplot adalah kisahan atau cerita yang diembanopleh pelaku-pelaku tertentu dngan pemeranan, latar, serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari imajinasi pengarangnya sehingg aterjalin suatu cerita.
Cerita fiksiu biasanya dituangkan dalam dua bentuk pokok yaitu roman atau novel dan cerita pendek atau cerkak ( cerita cekak). Bentuk-bentuk cerita inilah yang paling populer dan paling banyak dibaca orang. Dalam perkembangannya kemudian lahir bentuk-bentuk campuran antara kedua bentuk tadi. Ada novel yang lebih pendek disebut novelet. Ada cerpen yang panjang yang disebut cerita pendek panjang (long short-story ) dadan ada cerita pendek yang pendek disebut cerita pendek yang pendek ( short-short story ) Sumarjo, 1983:53)
Di Indonesia cerpen berkembang setelah perang dunia II. Bentuk ini tidak digemari oleh pengarang yang dengan spendek itu bisa menulus dan mengutarakan kandungan pikiran yang 20 atau 30 sebelumya harus dilahirkan dalam bentuk roman, tetapi oleh pembaca yang ingin menikmati hasil sastra dengan tidak ingin mengorbankan waktu terlalu banyak.
2.4. Pengertian Cerpen/Cerkak
Cerkak adalah bentuk cerita yang dapat dibaca tuntas dalamd sekali duduk. Daerah lingkupnya kecil dan karena itu ceritanya bisanya berpusat pada satu tokoh atau satu masalah.ceritanya sangat kompoak tidak ada bagiannya yang berfungsi sebagai embel-embel. Tiap bagiannya, tiap kalimatnya, tiap tanda bacanya tidak ada yang sia-sia. Semuanya memberi saham yang penting untuk menggerakkan jalan cerita atau mengungkapkan watak tokoh, atau melukiskan suasana. Tidak ada bagian yang ompong, tidak ada bagian yang sia-sia. (Diponegoro,!994:6).
Sedgwick mengatakan bahwa cerpen/cerkak adalah penyajian suatu keadaan tersendiri atau kelompok keadaan yang memberikan kesan tunggal pada jiwa pembaca. Cerpen tidak boleh dipenuhi dengan hal-hal yang gtidak perlu.(tarigan,1984:34). Sedangkan menurut Satiyagraha Hoerep cerpen adalah karakter yang dijabarakan lewat rentetan kejadian daripada kejadian-kejadian itu sendiri satu persatu. Apa yang terjadi didalamnya lazim merupakan suatu pengalaman atau penjelajahan. Dan reaksi mental itulah pada hakikatnya disebut cerpen (sami, 1988:34)
Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan ciri-ciri cerpen/cerkak adalah :
1. singkat, padu dan intensif.
2. ada adegan, tokoh, dan gerak (alur )
3. ceritanya harus tajam, sugestif, dan menarik perhatian,
4. harus menimbulkan satu pada pikiran pembaca,
5. harus mengandung detail-detail dan insiden-insiden yang dipilih dengan sengaja dan bisa menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran pembaca.
6. harus mempunyai pelaku utama
7. jharus mempunyai efek atau kesan yang menarik,
8. memberikan impresi tunggal,
9. menyajikan satu emosi
10. memiliki jumlah kata-kata tidak lebih dari 10.000 kata (tarigan,1984:177)
2.5. Unsur-Unsur Pembangun Cerpen/Cerkak
Cerpen/cerkak bagian dari salah satu karya satra dibangun oleh dua unsur, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membentuk karya sastra itu dari dalam. Unsur intrinsik meliputi tema, alur, tokoh, penokohan, sudut pandang, setting dan gaya bahasa. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah segala macam unsur yang berada diluar karya sasatra ayang turut mempengaruhi kehadiran karya sastra tersebut, yang meliputi pendidikan pengarang, faktor sosial ekonomi, politik, sgsms, tata nilai yang danut masyarakat dan lain-lain (semi, (1988:35)
Kedua unsur tersebut dalam membengun karya sastra mempunyai satu totalitas yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Unsur yang satu akan mendukng eksistensi unsur yang lain. Tanpa danya keterkaitan tidak akan tercipta suatu bangunan karya sastara yang utuh, indah dan bermanfaat.
Meskipun totalitas unsur intrinsik dan ekstrinsik tidak dapat dipisah-pisahkan, dalam peristiwa analisis keberadaan dapat diterangkan bagian demi bagian yang mendukungnya. Jadi secara fungsional kedua unsur intrinsik dan ekstrinsik adalah satu,tetapi sebagai unsur struktur masih sapat dikenali, inilah keunikan yang dimiliki karya sastra.
2.6. Unsur intrinsik cerkak/cerpen
Sebagai salah satu genre sastra karya fiksi mengandung unsur-unsur meliputi (1) pengarang atau narator (2) isi penciptaan (3) media penyampaian isi berupa bahasa dan (4) elemen-elemen fiksional atau unsur-unsur intrinsic yang mambangun karya fiksi itu sendiri sehingga menjadi suatu wacana. Pada sisi lain dalam rangka memaparkan isi tersebut pengarang akan memaparkannya lewat (1) pemjelasan atau komentar (2) dialog atau monolog dan (3) lewat kelakuan atau action. ( Aminudin, 1987: 66)
Nurgiantoro (1994:23) mengatakan bahwa unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual aan dijumpai jika oang membaca karya sastra.unsur-unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita. Kepaduan antar berbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud. Atau sebaliknya jika kita lihat kita dari sudut pembaca, unusur-unsur cerita inilah yang akan kita jumpai jika kita membaca sebuah novel. Unsur yang dimaksud, untuk menyebut sebagian saja misalnya, peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa dan lain-lain.
Menurut A.G.Sutoyo unsur-unsur intrinsik adalah unsur-unsur pembangun karya sastra yang dapat ditemukan di dalam teks karya sastra itu sendiri. Sedangkan yang dimaksud analisis intrinsik adalah mencoba memahami suatu karya sastra berdasarkan informasi-informasi yang dapat ditemukan di dalam karya sastra aitu atau secara eksplisit terdapat dalam karya sastra. Unsur-unsur intrinsic terbagi atas :
Menurut A.G.Sutoyo unsur-unsur intrinsik adalah unsur-unsur pembangun karya sastra yang dapat ditemukan di dalam teks karya sastra itu sendiri. Sedangkan yang dimaksud analisis intrinsik adalah mencoba memahami suatu karya sastra berdasarkan informasi-informasi yang dapat ditemukan di dalam karya sastra aitu atau secara eksplisit terdapat dalam karya sastra.
Dari pengertian diatas ada beberapa unsur intrinsik yang ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Tema Cerita
Seorang pengarang ketika akan menulis cerita bukan akan sekedar bercerita, tetapi akan mengatakan sesuatu kepada pembacanya. Sesuatu yang akan disampaikah itu bisa berupa pandangan hidupnya, kehidupan dan seluk beluknya atau komentar terhadap kehidupan. Persoalan-persoalan yang disampaikan lewat kejadian dan perbuatan tokoh cerita semuanya didasari tokoh cerita semuanya didasari olah ide dasasr pengarang dan ide dasar itu lazim disebut tema.
Ada beberapa macam pengertian tentang tema. Menurut tjahjono (1988:158) tema atau theme merupakan ide dasar yang bertindak sebagai titik tolak keberangkatan pengarang dalam menyusun cerita. Jadai sebelum menulis karya sastra, seorang pengarang harus enyiapkan terlebih dahulu. Karena itu penyikapan hterhadap eksistensi tema akan berbeda antara pengarang dan pembaca. Sebelum melakukan kegiatan menulis seorang pengarang harus sudah mempunyai permasalahan yang berupa tema. Sebaliknya, seorang pembaca baru akan mendapatkan tema tema yang terkandung dalam karya satra itu setelah membacanya.
Sedangkan menurut sumarjo (1983:57) tema adalah sebuah pokok pembicaraan dalam sebuah cerita, cerita bukanlah sekedar berisi sebuah rentetan kejadian yang disusun dalam bagan, tetapi susunan bagan itu sendiri mempunyai maksud tertentu. Pengalaman yang dibeberkan dalam sebuah cerita harus mempunyai permasalahan dan permasalahan itu biasanya tentang hal-hal pokok yang sering dibicarakan. Misalnya tentang kemanusiaan, kemasyarakatan, kejiwaan, kematian, ketuhanan dan lain-lain. Tema-tema besar itu harus dipersempit oelh pengarang sehingga permasalahannya jadi jelas.
Lebih luas lagi sudjiaman ( 1988:50 ) mengatakan bahwa tema adalah gagasan utama atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra. Pengertian ini menyiratkan adanya suatu permasalahan baik berupa pemikiran, ungkapan, perasaan, ambisi yang ingin ditampilkan pengarang. Jadi dalam hal ini karya sastra adalah ungkapan tentang pemikiran pengarang atau perasaan pengarang.
Menurut sudjiman da beberapa ragam tema duitinjau dari corak maupun kedalamannya. Antar lain :
1. tema ringan,
tema ringan biasanya ada dalam cerita rekaan dalam majalah hiburan. Misalnya kegembiraan cerita yang terbalas, pertengkaran antar kekasih dan lain-lain.
2. tema berat atau besar
tema berat atau tema besar misalnya tema kehidupan keluarga secara serius. Dan yang diutamakan bukan peristiwa yang berlaku dalam kehidupan keluarga. Namun falsafah yang yang terkandung dalam kemanusiaan secara universal.
3. tema biasa
misalnya cinta itu indah, cinta sejati itu abadi, perpisahan itu sesuatau yang menyedihkan.
4. tema tidak biasa
misalnya cinta itu menyedihkan. Miskin membawa kebahagiaan, perpisahan itu menyenangkan dan lain-lain.
Dari berbagai macam pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa tema adalah ide dasar cerita dari suatu karya sastra. Disamping kedudukannya sebagai ide dasar, tema akan mengikat seluruh bagian dari karya sastra. Karena itu tema yang jelas akan mempertegas bangunan karya sastra itu. Kebalikannya, tema yang tidak jelas akan membuat karya sastra itu kendor dan gembur-gembur atau meleleh cair.( Diponegoro, 1994:7)
Walaupun peranan tema sangat penting dalam sebuah karya sastra, namun baik buruk suatu karya sastra tidak semata-mata tidak ditentukan oleh tema. Kepiawian pengarang dalam menggarapnya turut menentukan karena tema suatu cerita dapat berbeda-beda meskipun dari satu gagasan, sehingga gagasan yang sama dapat menjadikan tema tau pokok cerita kedalam bermacam-macam cerita rekaan yang ringan, berat, biasa tau tidak biasa.
Aminuddin (1987 : 91) mendefinisikan ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperan juga sebagai pangkal tokoh pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. Lebiha jauh lagi Aminuddin memberikan beberapa langkah untuk memahami tema. Langkah-langkah tersebut melalui (1) pemahaman setting, (2) memahami penokohan (3) pemahaman satuanm peristiwa, pokok pikiran serta tahapan peristiwa (4) pemahaman plot dan alur (5) hubungan pokok pikiran yang satu dengan yang lainnya yang disimpulkan dari satuan-satuan peristiwa (6) menentukan sikap penyair terhadap pokok-pokok pikiran yang ditampilkan (7) identifikasi pengarang memaparkan cerita (8) menafsirkan tema dalam cerita yang dibaca serta menyimpulkannya.
Setiap fiksi haruslah mempunyai dasar atau tema yang merupakan sasaran tujuan. Penulis melukiskan watak para tokoh dalam karyanya dengan dasar itu. Dengan demikian tidak berlebihan bila dikatakan bahwa tema merupakan hal yang paling penting dalam seluruh cerita. Suatu cerita yang tidak mempunyai tema tentu taka ada gunanya dan artinya.
Brooks, Puser dan Warren dalam buku lain mengatakan bahwa “ tema adalah pandangan hidup tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau yang membangun dasar atau gagasn utama dari suatu karya sastra”. Dalam Tarigan (1986 :125)
Jakob Sumardjo dan saini KM ( 1986:56 ) mengatakan bahwa tema tidak perlu selalu berwujud moral atau ajaran moral. Tema hanya bisa berwujud pengamatan pengarang terhadap kehidupan.kesimpulannya, atau bahkan hanya bahan mentah pengamatannya saja. Pengarang bisa saja hanya mengemukakan suatu masalah kehidupan, dan problem tersebut tak perlu dia pecahkan. Pemecahannya terserah pada masing-masing pembaca.
Untuk menentukan makna pokok sebuah novel, kita perlu memiliki sebuah kejelasan pengertian tentang makna pokok atau tema itu sendiri. Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan (Hartoko dan Rahmanto, 1986:142 dalam Nurgiantoro, 1994:68)
Sebagai sebuah makna, pada umumnya tema tidak dilukiskan, paling tidak pelukisan secara langsung atau khusus. Eksistensi dan atau kehadiran tema adalah terimplisit dan merasuki keseluruhan cerita, dan inilah yang menyebabkan kecilnya kemungkinan pelukisan secara langsung tersebut. Hal ini pulalah antara lain yang menyebabkan tidak mudahnya penafsiran tema. Penafsiran tema utama diprasarati oleh pemahaman cerita yang secara keseluruhan. Namun, adakalanya juga dapat ditemukan adanya kalimat-kalimat ( atau alinea-alinea, percakapan) tertentu yang dapat ditafsirkan sebagai sesuatu yang mengandung tema pokok.( Nurgiantoro, 1994:69)
Beberapa tingkatan tema menurut Shipley (1962:417)dalam Nurgiantoro(1994:80) yang mengartikan tema sebagai subjek wacana, topic umum atau masalah utama yang dituangkan dalam cerita. Shipley membedakan tema –tema karaya satra kedalam tingkatan-tingkatan semuanya ada lima yaitu :
1. Tema tingkat fisik, manusia sebagai (atau dalam tingkat kejiwaan ) molekul, man as molecul. Tema karya sastra pad atingkat ini lebih banyak menyaran dan atau ditujukan oleh banyaknya aktifitas fisik dari pada kejiwaaan.
2. Tema tingkat organic, manusia sebagai (atau dalam tingkat kejiwaan)protolasma, man as protoplasma. Tema karya sastra tingkat ini lebih banyak menyangkut dan mempersoalkan masalah seksualitas- suatu aktivitas yang dapat dilakukan oleh makhluk hidup. Berbagai persoalan kehidupan seksual manusia mendapat penekanan dalam novel dalam tingkat ini khususnya kehidupan seksual yang bersifat menyimpang.
3. Tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial, kehidupan bermasyarakat yang merupakan tempat aksi-interaksinya sesama dan dengan lingkungan alam, mengandung banyak permasalahan, konflik dan lain lainyang menjadi objek pencarian tema. Masalah-masalah sosial itu berupa ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan, perjuangan, cinta kasih, propaganda, hubungan atasan bawahan, dan berbagai masalah hubungan sosial lainnya yang biasanya muncul dalam dalamd karya satra sebgai kritik sosial.
4. Tema tingkat egoik, manusia sebagai individu, disamping sebagai makhluk sosial, manusia sekaligus sebagai makhluk individu yang senantiasa menuntut pengakuan atas hak individualisnya.dalam kedudukannya sebagai makhlik individu manusia juga mempunyai banyak permasalahan dan kobnflik misalanya, yang berwujud reaksi manusia terhadap maslah-masalah sosial yang dihadapinya. Masalah individualitas itu berupa diantara lain: berupa masalah egoisitas, martabat, harga diri, atau sifat dan sikap tertentu manusia lainnya,yang pada umumnya lebih bersifat batin yang dirasakan oleh yang bersangkutan.
5. Tema tingkat devine, manusia sebagai makhluuk tingkat tinggi, yang belum tentu setiap manusia mengalami dan atau mencapainya. Masalah yang menonjol dalam tingkat ini adalah masalah manusia dengan sang pencipta, Masalah reliogisitas atau berbagai masalah yang bersifat filosofis lainya seperti pandangan hidup, visi dan keyakinan.
Akhirnya perlu ditegaskan dalam sebuah karya fiksi mungkn saja ditemukan lebih dari satu tema dari ke lima tingkatan tema diatas.
Menurut Nurgiantoro, (1994:82-83) bahwa tema terbagi menjadi dua yaitu tema utama dan tema tambahan. Tema utma disebut tema mayor artinya makna pokok ceritaq yang menjadi dasar atau gagasan dasar umm sebuah karya. Dan makna minor adalah makna yang hanya terdapat bagin-bagian tertentu cerita.
2. Penokohan
Membecarakan penokohan berarti membicarakan tentang tokoh ceritadan perwatakan. Tokoh cerita adalah individu yang mengemban cerita, sehingga cerita tersebut dapat dinikmati. Menurut Tarigan (1986:141) tokoh adalah pelakau cerita. Sebagai pelaku cerita tokoh harus dilihat sebagai yang berada dalam masa dan tempoat tertentu dan haruslah pula diberi motif-motif yang masuk akal bagi segala sesuatu yang dilkukaknnya. Artinya sebagai pelaku cerita tokoh harus dilukiskan seperti manusia yang sesungguhnya. Punya perasaan, pikiran, hati nurani dan lain-lain. Sebagai manusia yang bernapasa dan berdarah segala sesuatau yang dilakukannya harus masuk akal.
Menurut fungsi dan kedudukannya, tokoh terdiri dari tokoh utama, tokoh pendamping, tokoh bawahan, tokokh figuran dan tokokh bayangan. Tokoh utama dalah tokoh yang sangat berperan dalam membawa permasalahan, semua tokoh berpusat padanya. Tokoh pendamping adalah tokoh yang mempunyai kedudukan yang sama sama sejajar tetapi selalu menentang tokoh utama. Tokoh bawahan adalah tokoh selain tokoh utama dan tokoh pendamping, tetapi kehadirannya diperlukan karena mendukung tokoh utama dan tokoh pendamping. Tokoh figuran adalah tokoh yang dihadirkan untuk meelengkapi suasana sehingga kehadirannya dapat menggunakan dialog atau tanpa dialog. Tokoh bayangan dalah tokoh yang hanya dibicarakan tetapi tidak perlu hadir.
Terciptanya suatu alur cerita dalam suatu karya sastra tidak dapat dipisahkan dari unsur penokohan. Hal itu disebabkan tokoh merupakan pengejawantahan manusia dalam realitas kehidupan tidak lepas dari pemikiran pemikiran puas tidak puas, suka tidak suka, benci, rindu, dendam, ambisi, serakah, dan perasaan-perasaan lain. Pertanyaan yang timbul kemudian apakah yang sebenarnya yang dimaksud dengan penokohan?.
Menurut liverti, penokohan atau karakterisasi adalah proses yang diperginakan oleh seorang pengarang untuk menciptkan tokoh-tokoh fiksinya. Tooh fiksi harus dilihat sebagai yang berada dalam suatu masa dan tempat tertentu dan haruslah pula diberikan motif-motif yang masuk akal bagi segala sesuatu yang dilakukannya. Tugas pengarang adalah membuat tokoh itu sebaik mungkin, seperti yang benar-benar ada. Cara untuk mencapi tujuan itu tentu beraneka raagam, termasuk pemerian atau analisis, apa yang dilkuakan dan yang dikatakan para tokoh, cara mereka beraksi dalam situasi-situasi tertentu, apa yang dikatakan tokoh lain terhdap mereka atau bagaimana mereka bereaksi terhadapnya ( Tarigan, 1986:141)
Sedangkan menurut Aminudin adalah cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku itu disebut penokohan. Lebih lanjut Aminudin mengatakan bahwa peristiwa dalam karya siksi seperti halnya dalam peristiwa kehidupan sehari-hari, selalu diemban oleh tokoh-tokoh atau pelaku tertentu. Pelaku-pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita disebut dengan tokoh. Sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku disebut dengan penokohan ( Aminuddin, 1984:85 )
Peristiwa dalam cerita terjadi karena aksi atau perbuatan yang dilakukan oleh pra tokoh. Karakter atau watak adalah ciri khusus dari struktur kepribadian seseorang. (Soekanto, 1983:50 ) struktur kepribadian manusia tidak terlepas dari pengetahuaannya, rasa dan kehendaknya, serta keinginan itu sendir yang dapat membedakan kualitas hubungan antara berbagai unsur kepribadian dalam kesadaran individu. Perwatakan sebagai ciri khusus struktur kepribadian merupakan akal dan jiwa yang menentukan perbedaan tingkah laku dan tindakan dari tipa-tiap individu.
Ada bebrapa macam metode untuk menyajikan perwatakan atau penokohan. Panuti sudjiman membagi menjadi tiga metode. 1. metode analisis, atau metode lansung. Dalam metode ini pengarang memaparkan watak tokohnya dengan menambahkan komentar tentag watak tersebut. 2. metode tak langsung atau metode dramataik, yaitu watak tokoh dapat disimpulkan pembaca dari pikiran, cakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang, bahkan juga dari penampilan fisiknya serta dari gambarang lingkungan atau tempat tokoh. Metode ini disebut juga metode ragaan. 3. metode kontekstual yaitu watak dapat disimpulkan dari bahasa yang digunakan pengarang dalam mengacu kepada tokoh. (sudjiman, 1988:23-26 ).
Menurut Tarigan (1984:133, ada bebrapa cara yang dapat digunakan oleh pengarang untuk melikiskan rupa, watak atau pribadi tersebut, antara lain:
1. psycal description ( melukiskan bentuk lahir dari pelakon )
2. portrayal of thought stream or conscious thought ( melukiskan jalan pikiran pelakon atau apa-apa yang terlintas dalam pikirannya )
3. reaction to events ( melukiskan bagaimana reaksi pelakon itu terhadapo kejadian-kejadian )
4. Direct author analysis ( pengarang dengan langsung menganalisi watak tokoh )
5. pengarang melukiskan keadaan sekitar pelakon
6. pengarang meluiskan bagaimana pandanagan-pandangan pelakon lain pada suatu cerita terhadapa pelakon utama .
7. pelakon-pelakon lainnya dalam suatu cerita memperbincangkan keadaan pelakon utama, dengan demikian secara tidak langsung pembca dapat kesan tentang segala sesuatu yang mengenaiu pelakon utama itu.
Pendapat diatas daa kesamaan dengan Aminuddin (1984:87) dalam memahami watak pelaku, pembaca dapat menelusuri lewat :
1. tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya.
2. gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya maupun cara berpakaiannya.
3. menunjukkan bagaimana cara perilakunya.
4. bmelihat bagaimana tokoh berbicara tentang dirinya sendiri
5. bagaimana jalan pikirannya
6. melihat bagaimana tokoh lain berbicara dengannya.
7. melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya
8. melihat bagaimana tokoh –tokoh yang lain memberikan reaksi terhdapnya.
9. melihat bagaimana tokoh itu mereaksi tokoh hyang lainya.
Pendapat saad dalam Tjahjono ( 1988:138) hampir sama dengan pendapat Panutu Sudjiman. Cara pengarang melukiskan para tokoh-tokohnya dapat melalui dua jalan yaitu :1. cara analitik dan, 2 . cara daramtik. Cara analitik adalah seorang pengarang akan menjelaskan langsung keadaan dan watak-watak tokohnya. Sedangan cara dramatik adalah cara melukiskan watak tokoh dengan tidak lansung, tetapi dengan berbagai cara. Yaitu :
a. dengan melukiskan reaksi tokoh lain terhadap tokoh utama.
b. Dengan melukiskan keadaan sekitar tempat tokoh tinggal
c. Dengan cara melukiskan jalan pikiran dan perasaan tokoh-tokoh dalam cerita tersebut
d. Dengan cara melukiskan perbuatan-perbuatan tokoh tersebut.
Tokoh-tkoh sebagai pelaku pengemban cerita, memiliki peranan yang berbeda-beda tersebut menimbulkan bermacam-macam perwatakan. Menurit Ahmad Badrun (1083:88) perwatakan meliputi : 1. penokokhan dasar. 2. penokohan bulat. 3. penokohan kombinasi.
Aminudin (1987 : 79 ) mendefinisikan tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita. Sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku disebut penokohan.
Menurut Sumarjo ( 1954 : 57 ) bahwa penokohan adalah seluruh pengalaman yang yang dituturkan dalam cerita yang kita ikuti berdasarkan tingkah laku dan pengalam yang dijalani oleh pelakunya.
Willian dan Addison menggunakan istilah perwatakan dan mendifinisikan sebagai gambaran kreatif tentang tokoh-tokoh bayangan, yang dapat dipercaya demikian rupa, karea mereka hadir didepan pembaca seperti sesungguhnya (dalam Sukada, 1987 : 63)
Ada yang menggunakan istilah karakter dan karakterisasi . penggunaan istilah karakter (character) sendiri dalam berbagai litertuare bahasa ingris menyaran pad dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prisip moril yang dimilikitokoh-tokoh tersebut ( Staton, 1964:17) dengan demikian character dapat diberi arti ‘pelaku cerita’ dan dapat pula berarti ‘perwatakan’ antara seorang tokoh dengan perwatakan yang dimilikinya, memang suatu kepaduan yang utuh.
Ada beberapa macam tokoh dan ada bebrapa perbedaan yang dapat disajikan oleh pengarang dalam sebuah karya fiksi, perbedaan itu sebagaimana keterangan berikut :
a. Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan
Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita ada tokoh yang penting dan ditampilkan terus menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita dan sebaliknya, ada tokoh-tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itupun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek. Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh utama cerita ( central character, main character). Sedang yang tokoh kedua adalah tokoh tambahan. (peripheral character).
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan ceritanya dalam novel yang brsangkutan. Ia merupakan tokoh yang banyak diceritakan baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian.
b. Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis
Dilihat dari segi fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan kedalam tokoh protagonist dan antagonis. Memkbaca sebuah novel, pembaca sering mengidentifikasikan diri dengan tokoh-tokoh tertentu, memberikan simpati dan empati, melibatkan diri secara emosional terhadap tokoh tersebut. Tokoh yang disikapi demikian oleh pembaca disebut sebagai tokoh protagonist ( alterbernd & Lewia, 1996:59).
Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi yang salah satunya jenisnya secara popular disebut hero-tokoh yang merupakan pengejawentahan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi kita ( alterbernd & Lewia, 1996:59). Tokoh protagonist menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan kita, harapan-harapan kita, pembaca.
Sebuah fiksi harus mengandung konflik, ketegangan. Khususnya konflik dan tegangan yang dialami oleh tokoh protagonis. Tokoh penyebab terjadinya konflik disebut tokoh antagonis. Tokoh antagonis, barangkali dapat disebut, beroposisi dengan tokoh protagonis, secara langsung ataupun tak langsung, bersifat fisik ataupun batin. ( Nurgiantoro,1994:179 )
c. Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat
Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakanke dalam tokoh sederhana (simple atau flat character) dan tokoh kompleks atau tokoh bulat (complex atau round character).
Tokoh sederhana dalam bentuknya yang asli, adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak yang tertentu saja. Sebagai seorang tokoh manusia, ia tak diaungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya. Ia tidak memiliki sifat dan tingkah laku yang dapat memberikan efek kejutan bagi pembaca. Sifat dan tingkah laku seorang tokoh sederhana bersifat datar, monoton hanya mencerminkan satu watak tertentu. Watak yang telah pasti itulah yang mendapat penekanan dan terus-menerus terlihat dalam fiksi yang bersangkutan. Perwatakan tokoh yang sederhana yang benar-0benar sederhana dapat dirumuskan denganb sebuah kalimat atau bahkan sebuah frase saja. Misalnya ” ia seorang yang miskin, tetapi jujur”, atau ”ia seorang yang kaya, tapi kikir” ”ia orang yang senantiasa pasrah dan nasib ”
Tokoh bulat, kompleks, berbeda halnya dengan tokoh sederhana adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya sisi kepribadian dan jati dirinya.ia dapat saja memiliki watak tertentu yang dapat diformulasikan, namun iapun dapat pula menampilkan watak dan tingkah laku bermacam- macam, bahkan mungkin seperti bertentangan dan sulit diduga.oleh karena itu,perwatakannya pun pada umumnya sulit dideskripsikan secara tepat. Dibandingkan dengan tokoh sederhana, tokoh buat lebih menyerupaikehidupan manusia yang sesungguhnya, karena memiliki berbagai kemungkinan sikap dan tindakan ia juga sering memberikan kejutan (Abrams, 1981:201)
d. Tokoh statis dan Tokoh Berkembang
Berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh-tokoh cerita dalam sebuah novel, tokoh dapat dibedakan dalam tokoh statis, tak berkembang(statis character) dan tokoh berkembang ( developing character).
Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan dan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-periatiwa yang terjadi ( Altenber dan Lewis, 1966:58).
Tokoh berkembang, dipihak lain, adalah tokoh cerita yang mengalami perbahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan (dan perubahan) peristiwa dan plot yang dikisahkan. Ia secara aktif berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial, alam, maupun yang lain, yang kesemuanya itu akan mempengaruhi sikap, watak, dan tingkah lakunya. Adanya perubahan-peubahan yang terjadi diluar dirinya, dan adnya hubungan antar manusia yang memang bersifat saling mempengaruhi itu, dapat menyentuh kejiwaannya dan dapat menyebabkan terjadinya perubahan dan perkembangan sikap dan wataknya. Sikap dan watak tokoh berkembang, dengan demikian, akan mengalami perkembangan dan atau perubahan dari awal, tengah. Dan akhir cerita, sesuai dengan tuntutan koherensi cerita secara keseluruhan.
e. Tokoh Tipikal dan Netral
Berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap ( sekelompok ) manusia dari kehidupan nyata, tokoh cerita dapat dibedakan kedalam tokoh tipikal (tipical character) dan tokoh netral ( neutralcharacter ).
Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya, dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya. ( Altenberd dan Lewis, 1966:60 ), atau sesuatu yang lain yang lebih bersifat mewakili. Tokoh tipikal merupakan penggambaran, pencerminan, atau penunjukan terhadap orang, atau sekelompok oarang yang terikat dalam sebuah lembaga, atau seorang individu sebagai bagian suatu lembaga, yang ada didunia nyata.
Tokoh netral, dipihak lain, adalah tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu sendiri. Ia benar-benar merupakan tokoh imajener yang hanya hidup dan bereksistensi dalam dunia fiksi. Is hadair (dihadirkan) semata-mata demi cerita,m atau bahkan dialah sebenarnya yang empunya cerita, pelaku cerita, dan yang diceritakan. Kehadirannya tidak berpretensi untuk mewakili atau menggambarkan sesuatu yang diluar dirinya, seorang yang berasal dari dunia nyata. Atau palig tidak, pembaca mengalami kesulitan untuyk menafsirkannya sebagai bersifat mewakili berhubung kurang ada unsur bukti pencerminan dari kenyataan di dunia nyata.
3.Alur / plot
Pendapat Jan Van Luxemburk yang di indonesiakan oleh Dick Hartono mengemukakan bahwa alur atau plot adalah kontruksi yang dibuat pengarang mengenai sebuah deretan peristiwa yang logis dan kronologis saling berkaitan dan yang diakibatkan atau dialami para pelaku ( Hartoko, 1984 :149)
Aminudin (1987 : 83) mendifinisikan alur adalah rangkai cerita yang dibetuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.
Staton dalam Nurgiantoro(1994:113) mengatakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun kejadian itu dihubung secara sebab akibat, peristiwa yang satu sisebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.
Kenny (1996:14) dalam Nurgiantoro (1994:113) mengemukakan plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat.
Foster (1970:93)dalam Nurgiantoro(1994:113)juga mengemukakan plot adalah peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada adanya hubungan kausalitas.
Plot sebuah karya fiksi, menurut foster (1970:94-5) dalm Nurgiantoro(1994:114-115) mengtakan bahwa plot memiliki sifat misterius dan intelektual. Plot menampilkan kejadian-kejadian yang mengandung konflik yang mampu menarik bahkan mencekam pembaca. Hal itu mendorong pembaca untuk mengetahui kejadian-kejadian berikutnya. Tentu saja hal itu tidak akan dikemukakan begitu saja secara sekaligus dan cepat oleh pengarang, melainkan mungkin saja, disiasati dengan hanya dituturkan sedikit demi sedikit. Sengaja memisakan peristiwa-peristiwa yang sebenarnya berhubungan logis-langsung. Atau menunda(baca) menyembunyikan pembeberan sesuatu yang menjadi kunci permasalahn, dengan demikian, justru akan lebih mendorong pembaca untuk mengetahui kelanjutan kejadian yang diharapkan itu. Keadaan yang demikian inilah yang oleh foster disebut sebagai sifat misteriusnya plot.
Dalam plot ada kaidah pemplotan yang diterangkan oleh Kenny(1966:19-22) dalam Nrgiantoro(1994:130) bahwa kaidah-kaidah pemplotan itu adalah meliputi masalah plausibilitas (plausibility), adanya unsur kejutan (surprise), rasa ingin tahu ( suspense) dan kepaduan (unity).
Plausibilitas adalah menyaran pada pengertian suatu hal yang dapat dipercaya sesuai dengan logika cerita . plot sebuah cerita haruslah memiliki sifat plausible, dapat dipercaya oleh pembaca. Adanya sifat dipercaya itu juga merupakan hal yang esensial dalam karya fikasi. Khususnya yang konvensional.
Suspense menyaran pada adanya perasaan semacam kurang pasti terhadap peristiwa-peristiwa yang akan terjadi, khususnya yang menimpa tokoh yang diberi rasa simpati oleh pembaca (Abrams, 1981:138) atau menyaran pada adanya harapan yang belum pasti pada pembaca terhadap akhir sebuah cerita (Kenny, 1966:21). Suspense tidak semata-mata berurusan dengan perasaan ketidaktahuan pembaca terhadap kelanjutan crita, melainkian lebih dari itu, adanya kesadaran diri seolah-olah terlibat dalam kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dan dialami tokoh-tokoh cerita. Unsur suspense, bagaimanapun, akan mendorong, menggelitik, dan memotivasi pembaca untuk setia mengikuti cerita, mencari jawab rasa ingin tahu terhadap kelanjutan dan akhir cerita.
Plot sebuah karya fiksi dikatakan memberikan kejutan jika sesuatu yang dikisahkan atau kejadian-kejadian yang ditampilkan menyimpang, atau bahkan bertentangan dengan harapan kita sebagai pembaca ( Abrams, 1981:138) jadi dalam karya sastra itu terdapat suatu penyimpangan, pelanggaran, dan atau pertentangan apa yang ditampilkan dalm cerita dngan apa yang telah menjadi biasanya. Dengan kata lain yang telah mentradisi, yang telah mengkonvensi dalam penulisan karya fiksi, disimpangi atau dilanggar dalam penulisan karya fiksi itu.
Kasatupaduan menyaran pada pengertian bahwa berbagai unsur yang ditampilkan, khususnya peristiwa-peristiwa funsional, kaitan, dan acauan yang mengandung konflik, atau seluruh pengalaman kehidupan yang hendak dikomunikasikan, memilki keterkaitan satu dengan yang lainnya. Ada benang-benang merah yang menghubungkan berbagai aspek cerita tersebut sehingga seluruhnya dapat terasakan sebagai satu kesatuan
S. Tarif menyebutkan bahwa setiap cerita dapat dibagi dalam lima again:
a. situation (pengarang mulai melukiskan suatu keadaan)
b. generating sircumstances (peristiwa ang bersangkut paut mulai bergerak )
c. rising action (keadaan mulai memuncak )
d. climax (peristiwa-peristiwa mencapai klimaks)
e.denonement (pengarang mulai memberikan pemecahan persoalan dari semua peristiwa) dalam ( tarigan, 1986 : 128)
Didalam memahami buku cerita rekaan dijelaskan pengaluran adalah pengaturan peristiwa membentuk cerita ( sudjiman, 1988 : 31 ). Ada beberapa cara yang dilakuakan untuk mengetahui pengaluran dalam sebuah cerita yaitu :
f. Ad avo, jika sebuah cerita disusun dan dimulai pada awal peristiwa
g. In medis res, jika cerita dimulai ditengah kisah kemudian dipertautkan dengan semua peristiwa sebelum dan sesudahnya.
h. Alih bakih atau sorot balik jika urutan kronologisnya peristawa- peristiwa yag disajikan dalam karaya sastra disela denga peristiwa yang terjadi sebelumnya.
i.
4. Latar
Pendapat Brooks yang dikutip oleh tarigan Henny Guntur (1986 : 136 ) latar adalah latar belakang fisik unsur tempat dan ruang, dalam suatu cerita.
Latar atau stting yang juga disebut landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan( Abrams, 1989:175 dalam Nurgiantoro,1994:216).
Nurgiantoro(1994:227-233) menerangkan Unsur-unsur latar ada tiga yaitu :
a. latar tempat
latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan, atau paling tidak tak bertentangan dengan sifat dan geografis tempat yang brsangkutan. Masing-masing tempat tentunya mempunyai karakteristiknya sendiri yang membedakannya dengan tempat-tempat yang lain.
Untuk dapat mendeskripsikan suatu tempat secara meyakinkan, pengarang perlu menguasai medan. Pengarang haruslah menguasai situasi geografis lokasi yang bersangkutan lengkap dengan karakteristik sungai, laut, gubuk reot, rumah, hotel, dan lain-lain mempunyai ciri khas untuk menandainya.
b. latar waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah ”kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.
c. latar sosial
latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat yang diceritakandalam karya fiksi.
Latar dapat digunakan untuk beberapa maksud atau tujuan antara lain:
Pertama,latar dapat dengan mudah dikenali kembali, dan juga dilukiskan dengan terang dan jelas serta mudah diingat, biasanya cenderung untuk memperbesar keyakinan terhadap tokoh dan gerakan serta tindakanya. Kedua, latar suatu cerita dapat mempunyai suatu relasi yang lebih langsung dengan arti keseluruhan dan arti yang umum dari suatu cerita. Ketiga, kadang-kadang mungkin juga terjdi bahwa latar itu bekerja bagi maksud-maksud tertentu dan terarah dari pada menciptakan atsmosfir yang ermanfaat dan berguna.
5. Point of Viuw ( Penyudut Pandangan )
Sudut pandang atau point of view, menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana utuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. ( Abrams, 1981:142 dalam Nurgiantoro,1994:247).
Dengan demikian sudut pandang pada hakekatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Segala sesuatu yang yang dikemukakan dalam karya fiksi, memang milik pengarang, pandangan hidup dan tafsirannya terhadap kehidupan. Namun kesemuanyaitu dalam karya fiksi disalurkan lewat sudut pandang tokoh, lewat kacamata tokoh cerita.
Sudut pandang bagaimana merupakan sesuatu yang menyaran pada masalah teknis, sarana untuk menyampaikan maksud yang lebih besar dari pad sudut pandang itu sendiri. Sudut pandang merupakan teknik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya artistiknya, untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca ( Booth dalam stevick, 1967:89 ).
Sudut pandang cerita itu sendiri secara garis besar dapat dibedakan kedalam dua macam: pesona pertama, first-person, gaya pandang “aku” dan pesona ketiga, third-person, gaya “dia”. Jadi, dari sudut pandang “aku” atau “dia”, dengan berbagai variasinya, sebuah cerita dikisahkan. Kedua sudut pandang tersebut masing-masing menyaran dan menuntut konsekuensinya sendiri.
Penggunaan sudut pandang ”aku” ataupun ”dia” yang biasanya juga berarti :tokoh aku atau tokoh dia, dalam karya fiksi adalah untuk memerankan dan menyampaikan berbagai hal yang dimaksudkan pengarang. Ia dapat berupa ide, gagasan, nilai-nilai, sikap dan pandangan hidup, kritik, pelukisan, penjelasan, dan penginformasian namun juga demi kebagusan cerita yang kesemuanya dipertimbangkan dapat mencapai tujuan artistik. Untuk mencapai tujuan tersebut tentulah terkandung pertimbangan: lebih efektif manakah diantara dua ( lengkap dengan variasinya ) sudut pandang itu? Jawab terhadap pertanyaan itu dapat dikembalikan pada argumentasi aristoteles : jika mengharap efek seperti itu, penggunaan sudut pandang tertentu dapat menjadi lebih baik atau buruk ( Booth, dlam stevick, 1967 : 89 )
Titik pandang adalah cara pengarang menampilakan para pelakau dalam cerita yang dipaparkannya( aminudun , 1987 : 90) titik pandang atau bisa di istilahkan dengan poit of view atau titik kisah meliputi :
Narrator Amniscient, Narrator observer, Narrator obserfer amniscient, narrator the third person amniscient.
a. Narrator amniscient adalah narator atau pengisah yang berfungsi sebagi pelaku cerita. Karena pelaku adalah pengisah, maka akhirnya pengisah juga merupakan penutur yang serba tahu apa yang ada dalam benak pelaku utama maupun sejumlah pelaku lainnya baik secara fisikal maupun psikologus.
b. Narrator observer adaladh bila pengisah yang berfungsi sebagai pengamat terhadap pemunculan para pelaku serta hanya tahu dalam batas tertentu prilaku batiniah para pelaku.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Bentuk Cerkak
(1)( Sumber: Mekarsari, 11 Mei 2008 )
MBOK KARTO
GENEP limang sasi ngenggoni los anyar ing pasar kuwi, saiki dagangane saya sepi. Kamangka yen dietung-etung meh telung puluh taun, kepara luwih anggone dodolan Sop Kikil.
Saungkure sing lanang udakara sepuluh taun jalaran tinggal donya, wadon tuwa kuwi tetep nerusake anggone dodolan mbukak usaha dhewe. Biyen sadurunge pasar paling gedhe ing kutha kabupaten kuwi dibangun, warunge laris manis. Semono uga nalikane isi ana papan penampungan sajroning pasar kuwi dibangun.
Nanging wektu iki, para pelanggan saya suwe saya suda, kepara malah ilang. Menu masakan Mbok Karto Kikil, mangkono tangga-tanggane yen ngundang, kegolong istimewa. Biasane, Sop Kikil alot yen dicakot, nanging sing iki beda. Ana tangane Mbok Karto, kikil kang alot mau dadakan dadi empuk nyamleng jalaran bumbune mrasuk ana ing pori-pori. Ana maneh sing istimewa, teh nasgithel cem-cemane wong tuwa kuwi nikmat, seger ora ana tunggale. Papane ndhewe ana pojok mburi, ora dadi siji karo papane wong dodol ratengan liyane, nanging malah cedhak karo bakul barang loakan. Mbok Karto bisa ngenggoni kapling nyleneh mau, gara-gara papan kang dadi hak-e wis didol marang pedagang anyar.
Sawijining awan, warunge katekan wong wadon ayu, nganggo blus ketat lan rok mini pink, ngatonake lekuk-lekuk awake kang endah trep karo kulite sing kuning mrusuh. Ndadekake kabeh wong sing ana kono kamitenggengen, nggatekake sing lagi teka. Mbok Karto takon, lan wong wadon ayu kuwi mung manthuk semu mesem kaya kepeksa. Wong loro mung padha mbisu, nalikane wong wadon ayu mau noleh, Mbok Karto ngerti yen ana rasa kasedhihan saka sorot mripate. Nganti sore wong wadon ayu mau isih lungguh ana kono, kamangka gelas lan piringe wis kothong kawit mau. Mbok Karto wiwit tata-tata arep kukut.
“Wis sore ndhuk, apa ora bali?” pitakone diwanek-wanekake. Dumadakan wadon ayu malah ndhelikake raine, ungkep-ungkep ana meja, nangis. Mbok Karto mlongo. Nalurine minangka ibu age-age, nyedhaki. Baune wadon ayu mau dicekel “Ana apa ndhuk?” Raine diangkat, katon mripate kaca-kaca. Sabanjure tanpa sungkan-sungkan ngebrukake raine ana pangkone Mbok Karto. Nerusake anggone nangis, nganti jarite Mbok Karto teles kebes. “Ndhuk, gelem mulih menyang nggone simbok, ya? Mengko bisa crita-crita sing luwih dawa,”.
Bengine, nalikane wong loro padha nonton sinetron lokal ing TV, tanpa dijaluk Tiwi mangkono jenenge wadon ayu mau cerita. Wis limang taun nikah, nanging durung duwe anak. Bojone dagang bathik. Sing maune anggone bebrayan rukun, tentrem, ndadak sawijining ndina bojone teka karo wong wadon liya. Sawise padudon, Tiwi diusir lan lunga saparan-paran nganti tekan nggone Mbok Karto.
Tekane Tiwi ana warunge Mbok Karto nggawa pangaribawa gedhe. Sing maune wis endrap-endrip arep mati, sepi, saiki rame maneh. Kabar sumebar yen Mbok Karto anggone dodol Sop Kikil dibantu ponakane kang ayu lindri-lindri. Warunge mbok Karto dadi regeng maneh, senajan diakoni sing andhok ing kono, mung kepengin weruh Tiwi sing ayu, kanthi rok mini lan klambi sing ketat sahengga saranduning awake kang endah katon kabeh. Senajan kentekan Sop Kikil nanging ora gela, jalaran sing baku bisa ndeleng lenggak-lenggoke lan eseme Tiwi.
Ora krasa wis limang sasi luwih Tiwi ngancani Mbok Karto dodolan Sop Kikil. Sasuwene iki wis nggawa panguripan anyar tumraping Mbok Karto, dodolane laris nganti gusis, ateges bathine saya akeh. .
Nanging kahanan ora langgeng, kaya nalika tekane, lungane Tiwi uga ora pepoyan ngerti-ngerti wis ora ana. Nalikane Mbok Karto mulih saka pengajian kampung, ora methuki Tiwi, mung ana layang sa suwek kang isine njaluk pamit lan njaluk ngapura jalaran wis rumangsa nggawe repote Mbok Karto. Mesthi wae lungane Tiwi nggawa owah-owahan maneh ing warunge Mbok Karto, sing maune wis rame, regeng, laris, saiki bali sepi maneh ora ana sing andhok.
Mbok Karto bisane mung ngonggo-onggo ana pojok bangku dawane maneh, nganti sawijining esuk ana kedadeyan kang gawe geger wong akeh. Wong sa pasar padha gemrudug menyang panggonan loakan, kabeh suk-sukan mung kepengin ndeleng Mbok Karto anggone dodolan Sop Kikil nganggo rok mini pink, kaya sing biasane dienggo Tiwi.
2. Tumbal
Sêjatiné abót anggónku nindakaké pakaryan iki. Nangíng piyé manèh.Aku múng sakwijiníng bawahan síng kudu loyal marang atasan. Kamångkå atasanku Drs Sêngkuni SH MBA wís nginstruksèkaké yèn proyèk iki kudu di-mark up.Mbúh piyé carané síng pênting kabèh bisa olèh pangan. Pancèn iki konsêkuènsiné nduwèni jabatan síng stratêgis kåyå awakku iki.Tak akóni sakwisé dadi Kasubag Pêngêlolaan Proyèk iki rêjêkiku mbanyu mili. Paribasan nganti kåyå diwènèh-wènèhi.
Nangíng yèn ånå pêrkårå síng kåyå mêngkéné aku ugå kudu wani ndhadhagi.Awít yèn ora, biså dipêsthèkké yèn tahún ngarêp aku mêsthi bakal dimutasi."Wís tå Dík Har, ora sah dipikirké abót-abót. Soal wóng såkå KPK, mêngko aku síng mback-up wís," mangkono pangandikané atasanku kasêbút íng sak wijiníng wêktu nalikå aku ditimbali íng ruangé."Síng pêntíng kowé biså ngolah ångkå-ångkå iku kanthi layak.
Masalah liyané mêngko aku síng ngatúr," sêsambungé Pak Sêngkuni karo ngêpúk-êpúk pundhakku."Lha piyé kirå-kirå? Åpå Dhík Har kabótan? Soalé Dík Wísnu wingi ugå nawakaké arêp nggarap proyèk iki," ujaré Pak Sêngkuni kåyå ngêrti kêmrusuhing atiku."Oh, mbotên Pak. Kulå taksíh sagah ngayahi piyambak," ujarku gurawalan. "Wèll! yå ngono iku síng tak karêpké. Yèn pancèn kowé sê-visi karo aku, mêsthi aku ora bakal ninggal kowé Dhík. Wís sak iki rampúngna aku péngín Minggu ngarêp wís rampúng. Sanggúp tå?""Sêndikå Pak," ujarku karo manthúk-manthúk.Aku énggal-énggal ninggalaké ruang kêrjané bós têrús nyêlúk Dhík Wakino wakílku sartó Éndah sékrêtarísku.Tak jak rêmbugan barêng pêrkårå iki. Awít pancèn wóng loro iku síng dadi nyawaku. Ibaraté Dhík Wakino karo Éndah kuwi think-tank-ku. Sangénggå aku bangêt mbutúhaké bantuané dhèwèké."Nèk masalah ångkå gampang diowahi, Mas. Múng síng dadi masalah iki tanggúng jawabé abót awít nyangkút dana síng ora sêthitík," ujaré Dhík Wakino."Nangíng têrús piyé Dhík? Bós wís nêtêpké kudu biså. Yèn ora awakké dhéwé kudu siap ninggalké kantór iki," sêmaúrku.Dhík Wakino manthúk-manthúk karo ngulati layar kómputêr íng ngarêpé."Yå wís, arêp piyé manèh. Mbók mênåwå iki pancèn résiko pêkêrjaan. Awakké dhéwé kudu siap," sambungé wóng síng bangêt tak pêrcåyå iku.
*****
Pancèn iki dudu masalah síng ènthèng, awít proyèk iki gungungé mèh nêm bêlas mílyar rupiah.Síng kudu di-mark up mèh sêpulúh míliar dhéwé. Åpå ora édan-édanan. Nangíng piyé manèh. Aku iki múng bawahan kudu loyal mênyang atasan. Awít yèn ora biså-biså aku dilórót jabatanku.Kamångkå ngêrti dhéwé kanggo ningkataké karir íng kantór iki ora barang síng gampang.Awít mèh wólulas tahún anggónku bêrjuang ngrintís karir, wiwít gólóngan têlu A nganti sak iki biså dadi Kasubag sak wijiníng kantór. Mêsthi waé dudu bab síng gampang.Kåyå aku dhéwé síng wêktu iki kêlêbu ånå bagian síng êmpúk.Ora sithík síng pådhå kêpéngín biså nglungguhi kúrsiku iki.
Awít pancèn ya nyênêngké tênan. Golèk dhuwít paribasan kêcap waé dadi atusan éwón.Nangíng ugå mujúdaké bagian síng ånå pucuking êri, yèn ora ngati-ati bisa ndang ngglúndhúng tênan."Durúng saré, Pah?" panyénggólé Nani, sisihanku.Ora tak råså yèn wêktu iki aku nêdhêng ngalamún nèng têras kamar lantai loro.
"Durúng ngantúk, Mah?" sêmaurku karo nyumêt rókók êmbúh síng kêpira mau?
"Sajaké ånå masalah nèng kantór?" pitakóné bojoku síng wís apal lagónku. Sabên ånå masalah mêsthi tangkêpku dadi séjé karo padatan.Aku múng manthúk. Têrús sisihanku lunggúh íng sandhíngku.Awít yèn wís ngono biasané aku têrús critå masalahku marang dhèwèké. Pancèn sak suwéné iki sisihanku síng dadi sparing partnêr-ku.
Dhèwèké kuwi wóng wadón síng istiméwa, sênadyan múng ibu rumah tangga, nangíng otakké ora kalah karo wanita karir. Ora nggumúnanké sêjatiné sisihanku lulusan sarjana lan mbiyèn tahu dadi dosèn íng univêrsitas swasta. Múng amargå aku ora kêpéngín bojoku bêrkarir, mula dhèwèké tak kón dadi ibu rumah tangga thók. Supåyå anak-anakku biså kopèn, nyatané anakku cacah têlu sakiki wís ngancík dhéwåså kabèh, síng mbarêp malah wís mèh lulús såkå univêrsitasé.
***
"Pancèn abót posisi panjênêngan, Pah. Awít iki diléma. Yèn njênêngan wêgah, mêsthi bakal dilórót. Nangíng yèn pênjênêngan tindakké, abót résikoné," komêntaré sisihanku sak wisé tak critani pêrmasalahanku."Ya kuwi síng gawé bingúngku. Lha trús aku kudu piyé?" "Yúk awakké dhéwé tahajúd, nyoba nyuwún tuntunan Gusti Allah, såpå ngêrti mêngko njênêngan olèh pêpadhang," ujaré sisihanku.Aku manthúk-manthúk têrus wóng loro pådhå tumuju kamar mandhi njupúk banyu wudu kanggo ngrêsiki badan. Ånå sak jroning tahajúd tak rasakaké kåyå ngåpå jumbal-jumbulé wêwayangan ing alam pikirku. Sênadyan wola-wali tak cobå nyilêmaké wêwayangan iku nanging kråså angèl bangêt.Sabên-sabên wêwayangané Pak Sêngkuni atasanku kanthi polatan nêsu ngulataké aku. Gonta-ganti karo lapuran proyèk síng kudu tak gawé. Têrús nglambrang manèh wêwayanganku dipêcat déníng atasan.Têrús ånå gambaran pårå polisi síng têkå ing kantórku têrús mbórgól tanganku."Dúh, Gústi Allah...... Kulå pasrah wóntên ngarså padukå!" pambêngókku íng sak jroníng tahajúd. Bubar kuwi aku ngrasakaké pêndêlênganku pêtêng. Aku ambrúk ngambúng karpèt síng dadi lambaran anggónku ngadhêp íng Pangéran.
iki Dhík Wísnu têkå íng kantórku karo mènèhaké layang kanggo aku. Tak bukak layang iku tibaké surat pêrintah såkå Pak Sêngkuni supåyå aku mènèhaké proyèk iku marang dhèwèké."Sorry lho Mas, aku múng nindakaké dhawúh," ujaré Wísnu katón pêkéwúh karo aku. "Ora åpå-åpå, Dhík. Mbók mênåwå kowé luwíh pintêr timbang aku," ujarku karo mènèhaké bêrkas-bêrkas administrasi proyèk. Sênadyan ånå kang kóbóng íng dhådhå iki, nangíng tak cobå mêkak hardening kanêpsónku.Mugå-mugå waé Gusti Allah tansah mènèhi kêsabaran marang aku. Awít såpå wóngé síng ora lårå ati, yèn nèng têngah dalan gawéyané dipasrahké wóng liyå. Pak Sêngkuni pancèn kêbangêtên. Katóné dhèwèké wís malík imané sak ênggå tégå karo aku síng ora liya anak buahé.Awan iku aku milíh mulíh gasik, awít yèn tak têrús-têrúské nèng kantór bisa-bisa malah aku dhéwé síng ora kuwat.***
Aku wís ngrumangsani yèn karirku mbók mênåwå bakal mêntók. Awít wêktu iki Pak Sêngkuni, atasanku ora gêlêm nyåpå arúh marang aku. Sabên-sabên dhèwèké butúh, mêsthi Dik Wísnu síng diundang ånå kantór. Lan tingkah kang kåyå mangkono mau disêngåjå ovêr acting nèng ngarêpé pårå bawahan.Aku rumångså korban pangråså. Awít såpå wóngé síng kuwat dipêrlakukan kåyå mangkono. Nangíng aku nyoba sabar. Karo íng batin tansah ndêdongå, mugå-mugå Pak Sêngkuni diapurå dosané déníng Gusti Allah, sartå dibukakaké atiné supåyå ora bangêt-bangêt anggóné nêsóni aku.Lan
sak wijiníng wêktu såpå síng bakal ngirå, yèn kantórku ditêkani polisi pirang-pirang. Wiwitané ruangku síng diprikså, barêng ora ånå têrús ruangé Kêpala Kantór bubar kuwi têrús tak tóntón ånå polisi nganggo sêragam nyêrahaké surat marang atasanku kasêbút.Tanpa suwålå manèh Pak Sêngkuni diglandhang déníng pêtugas kêpolisian iku.Awít disinyalír dhèwèké wís mark up dhuwít proyèk nganti sêpulúh miliar. Ora múng Pak Sêngkuni dhéwé, kêlêbu Dhík Wisnu síng kumawani nglancangi gawéyanku. Lan wís biså diwåcå, íng ngêndi papan Kêpala iku ora tahu salah. Síng salah mêsthi bawahan. Awít ora gantalan suwé Pak Sêngkuni bósku wís mêtu såkå kantór polisi. Déné Dhík Wísnu ditêtêpké dadi têrsangka. Wisnu wís dadi tumbal ing kantórku, awít dhèwèké kudu mikúl dosané bósku síng wêktu iki múng cukúp dimutasi íng luar jawa."Bêgjå sampéyan Pah. Untungé nolak åpå dhawuhé bós mbiyèn," ujaré sisihanku karo ngrangkúl aku lan nangís mingsêg-mingsêg.
"Gústi isíh njampangi awakku, Mah. Lan kabèh mau uga ora uwal såkå dukungané Mamah," ujarku.Ah, pancèn kabèh iki kåyå wís diatúr déníng Gusti Allah. Kåyå aku dhéwé rumångså dislamêtaké déníng Panjênêngané. Coba mbiyèn aku síng nindakaké bab mau, biså-biså aku síng mlêbu kunjaran.
::Dening: Tri Wiyono::
Kapethik saking : Jagad Jawa – Solopos
http://www.solopos.co.id
Sumber : Jagad Jawa - Solopos
3. Tamu Kang Pungkasan
Lakuné dinå rumangsaku cêpêt bangêt, wêktu sêwulan síng diidinaké såkå pêmêrintah rumangsaku lagi dhèk wingi, nangíng ngêrti-ngêrti kari sêdinå iki. Dinå sésúk aku lan kåncå-kåncå sak profèsiku gêlêm ora gêlêm kudu ninggalaké panggónan iki, yå panggónan ålå síng dadi mungsuhé masyarakat síng kêpéngin uripé slamêt donyå lan akhirat.Pancèn wiwitané aku ora sêngåjå mlêbu papan èlèk síng diarani lokalisasi, nangíng kabèh amargå kêpèpèt kahanan, biyåså... masalah klasik síng diadhêpi pawóngan síng uríp íng padésan, kurang pangan lan sandhang lan ora kuwat ngadhêpi sanggan uríp, gèk kamóngkó síng jênêngé golèk pênggawéyan iki angèlé jan ngêpól tênan.
Åjå manèh aku sakkåncå síng múng duwé ijazah SMP tanpå nduwèni kêtrampilan, sanajan síng wís duwé èmbèl-èmbèl gêlar sarjana waé akèh síng kêcêmplúng ing profèsi iki sanajan bédå kêlasé. Ora kråså lúh têmètès ing pipiku, uríp kók múng kåyå ngéné, gèk súk kapan aku biså mêntas såkå panggónan iki? Dhúh,... Gústi Allah paringånå pitudúh mêrgi íngkang lêrês lan pinanggihnå jodho íngkang saé. Aku unjal ambêgan landhúng, gèk kåyå aku iki åpå ånå wóng lanang síng sudi mêngku? Níng aku pêrcåyå yèn Gústi Allah iku ora saré, sakwijiníng dinå mêngko aku bakal kêtêmu jodhoku.
Dak élíng-élíng nasibé kåncå-kåncå sak profèsiku nyatané ugå ånå wóng lanang síng gêlêm ngêpèk bojo. Mbak Éndah dipèk bojo sopír trêk lêngganané malah nyatané saiki biså uríp bagyå múlyå íng ndéså. Dhík Hèsti ugå dipèk bojo wóng lanang sanajan múng dadi mbók ênóm anangíng kabèh kêbutuhané biså dicukupi, Éndang kancaku sak kampúng ugå diwêngku wóng lanang sanajan wís rådå sêpúh yuswané nangíng nyatané gêmati bangêt malah saiki diparingi putrå.Bubar macak kåyå biyasané aku lungguhan íng têras omah, biyåså,... mancíng iwak alias nggodhå wóng lanang síng kêpéngin awaké dikêpénakaké sanajan múng sêdhélå, syúkúr yèn gêlêm nginêp sêwêngi, wah... mêsti bayaran síng dak tåmpå lumayan kanggo sangu mulíh mênyang ndéså."Mampír Mas,"... godhaku nalikå ånå sakwènèhíng pawóngan mlaku ijèn karo miling-miling nyawang têras póndhókanku, dhèwèké mèsêm lan gêlêm mampír."Ngunjúk mênåpå Mas?" ujarku karo nggandhèng tangané dak jak lunggúh íng sandhíngku. Wóng lanang mau manút waé."Biyasané wóng lanang iku sênêngané ngunjúk susu yå, kópi susu åpå coklat susu?" aku sansaya wani nggodhå, lha wóng síng digodhå yå sansåyå sênêng atiné.Yå kåyå mêngkéné pênggawéyanku sabên ndinå nglayani tamu síng gêlêm mampír íng kamarku. Wêktu limang tahún uríp íng lokalisasi pancèn akèh bungah lan susahé, nangíng kêpénaké múng watês bab kadonyan, bisa cukúp sandhang lan pangan ora nyambút gawé abót, nangíng rêkasané biså-biså kêtularan pênyakit sifilis utawa AIDS lan dadi mungsuhé masarakat, amargå dianggêp dadi sampah masyarakat síng kudu disírnakaké. Aku isíh kèlingan nalikå lokalisasi iki didhémo warga masyarakat, awakku nganti ndrêdhêg kawêdèn.
"Lho kók malah ngalamún?" ujaré wóng lanang síng dadi tamuku iku ngagètaké atiku."Ah, iyå yå bênêr ngêndikamu Mas, lha kêpriyé ora ngalamún, mbók mênåwå panjênêngan iku tamuku íng papan kéné kang pungkasan amargå sésúk aku sak kåncå kudu lungå såkå papan iki.""Ditêpungaké jênêngku Bagús sanajan rupaku ora bagús," mêngkono tamuku mau nêpúngaké. "Sunthi jênêngku Mas," aku ganti sêmaúr. Priyayiné pancèn grapyak lan akèh gunêmé, lagi têtêpungan kurang såkå limang mênít waé rasané wís biså akrab."Aku mréné pancèn golèk kênangan kang púngkasan såkå papan lokalisasi iki, aku ngajab papan iki pancèn biså rêsík såkå tumindak maksiyat," mêngkono ujaré Mas Bagús. Sak jam luwíh aku lan Mas Bagús ngóbról ngalór ngidúl, lan pungkasané Mas Bagús pamitan arêp mulíh mênyang omahé. Dhèwèké ninggali dhuwít aku sing lumayan akèh lan njalúk jênêng lan alamat omahku síng sakbênêré.
****
Anèng ngomah rasané kåyå dikunjåra waé, la kêpriyé ora susah, la anèng ngomah yå múng thêngúk-thêngúk waé tanpå duwé gawéyan síng ngasilaké. Dhuwít cèlènganku wís wiwít nipís, rasané ati wís kêtar-kêtir, dumadakan pak pós mandhêg anèng ngarêp omah, ngêtêraké layang såkå Mas Bagús, dhúh,... bungahé ati iki, såpå ngêrti mbésúké Mas Bagús biså ngêntasaké aku såkå uríp kang nisthå iki. Layang dak bukak kanthi alón, ånå råså bungah lan ati iki tambah dêg-dêgan waé.
"Dhík Sutinêm síng dak trêsnani," mak dhêg rasané atiku kaya diumbúllaké karo Mas Bagús. Pancèn jênêngku síng asli iku Sutinêm, nangíng ing lokalisasi aku nganggo jênêng "Sunthi", layang dak waca kanthi ati kang dêg-dêgan
Surabaya, 12 Désèmbêr 2007 "Dhík Sutinêm síng dak trisnani"Wiwít kêtêmu karo sliramu ing papan kånå kaé, aku dadi kêpingín omah-omah karo sliramu. Bab såpå tå sliramu aku kabèh wís mangêrtèni, nangíng åpå sliramu ngêrtèni aku lan såpå tå sêjatiné aku iki? Barès waé ya dhík, aku iki wóng lanang síng ora bédå karo sliramu. Tumindak nistå lan ålå kabèh waé wís naté dak tindakaké. Nangíng aku péngín marèni kabèh mau sakdurungé kasèp. Mula yèn sliramu gêlêm dak jak uríp bêbarêngan nyabrang íng samodrå bêbrayan agúng, ayo dhík wangsulana layang iki, gêlêmå Dhík Sutinêm dak jak uríp anyar íng sakjêroníng balé somah kang rêsmi lan ayo pådhå uríp kang anyar, uríp kang kêbak laku utåmå sanajan múng uríp sarwå prasåjå, wís bèn lêlakónmu lan lêlakónku dikubúr barêng-barêng lan dilarúng íng samodra pangapurå. Aku ora njanjèkaké uríp kang moncèr kêbak kêméwahan donyå, nangíng aku pêrcåyå yèn aku karo sliramu biså uríp bagyå múlyå. Sêpisan manèh, aku ora mêkså nangíng aku têtêp nunggu walêsan layang iki bèn atiku bisa têntrêm. Såkå kåncå anyarmu síng nêmbé kasmaran.Bagús Ora kråså, kacu cilík wís têlês kêbês êlúhku, bisaku múng pasrah jiwå lan rågå marang Mas Bagús. Sunaré srêngéngé wayah ésúk íng Suråbåyå nambahi éndahíng swasånå balé somahku. Kêmbang kênångå íng ngarêp omahku nyêbaraké gåndå kang arúm. Cêpêt-cêpêt aku dandan sak pêrlu arêp ngêtêraké Panji anakku mbarêp såkå titisané Mas Bagús kang saiki makaryå dadi móntír sêpéda mótór, Allahuakbar,... laillahaillallah, alhamdulilllah pujiku marang Pangéran Kang Maha Kuwasa.
::Dening: Sumédi::
Kapethik saking : Jagad Jawa – Solopos
http://www.solopos.co.id
4. Dúrjånå
Pak Sarmín katón gêtêm-gêtêm, ngrungókaké pawartå, yèn íng wêktu iki akèh wóng kang kélangan, akèh malíng kang pådhå bêropérasi. Sak liyané omah-omah biasa, papan kang kanggo jujugan malíng yå iku kantór-kantór pêmêrintahan.
Pak Sarmín katón anyêl amargå sêtêngah tahún kêpungkúr kantóré yå pêrnah disatróni malíng. Sanadyan bapak kêpala íng kantóré ora paríng dukå marang dhèwèké, nangíng Pak Sarmín rumångså isín. Åpå manèh dhèwèké kudu ngadhêpi pitakóné bapak-bapak såkå kêpulisian, síng sêmuné kåyå nudhúh marang dhèwèké.
Pak Sarmín anggóné jågå malêm íng salah sawijiné kantór pêmêrintahan wís sawêtårå suwé, kurang luwíh wís róng pulúh tahun. Mbók mênåwå umuré wís kêtuwan mênåwå ngajókaké dadi pêgawai nêgêri, mulå dhèwèké wís mupús. Jågå malêm kanggoné dhèwèké ora nggolèki lêmbaran rupiah, nangíng ngiras pantês kanggo tirakat, mêlèk wêngi, kanggo sêsiríh. Ora ånå liyå síng diprihatinaké, didongakké sabên dinå yaiku anak lanang siji-sijiné, Parjo. Anak lanang síng didåmå-dåmå, digadhang-gadhang lan digayúh mugå-mugå bisa mikúl dhuwúr mêndhêm jêro marang dhèwèké. Parjo salah sawijiníng pêmudha kang gagah, dêdêg piadêgé éntúk, lan praupané ya ora pati nguciwani. Mulå ora maido yèn duwé pêpinginan dadi pulisi. Nanging Pak Sarmín sêmpat was-was, sawisé lulús SMA, Parjo wís nyobå ndhaftar dadi pulisi kapíng pindho, nangíng gagal têrús, lan ora mangêrtèni åpå síng nyêbabaké gagalé. Yèn ditakoni jaré kabèh ujiané yå biså nggarap, ujian fisik yå biså, mbók mênåwå nasibé waé sing durúng apík.
Róng ndinå iki Pak Sarmín ora doyan mangan, amargå mikír pênjaluké anaké lanang. Anak lanang siji-sijiné ora tau njalúk, njalúk pisan waé dhèwèké ora biså nuruti. Parjo pancèn arang nêmbúng njalúk marang wóng tuwané, wís kulinå såkå cilík, kêpingín klambi waé ora bakal nêmbúng marang wóng tuwané. Nèk ditukókné yå diênggo, nèk ora yå múng mênêng waé. Róng ndinå kêpungkúr Parjo sêmpat ngómóng marang bapaké, "Pak, pripún nèk kulå pênjênêngan pundhútké mótór, krédit mawón, mêngké kula tak ngojèk, hasilé rak sagêd kanggé ngangsúr..., timbangané kulå nganggúr wóntên ndalêm, sak mênika padós pêdamêlan nggíh angèl?!". "Jo..., Jo... åpå kowé ki ra ngêrti, dinggo nyukupi butúh sabên dinané waé kangèlan, la kók dinggo tuku móntór!, kowé kuwi nglindúr pó piyé?" "Nggíh sampún....".
***
Têlúng sasi wís mlaku, rikålå wêktu ngasar Karmo, adiné lanang Pak Sarmín nyêdhaki lungguhé Pak Sarmín têrús ngómóng kanthi sora lan sêmangat makantar-kantar, "Mas... Mas Sarmín, ati-ati lho Mas... sakiki wis wiwít akèh pêncurian, malíng-malíng wís mêrajaléla manèh, kåyå têlúng sasi kêpungkúr, iki malah tambah nêmên." "Mo... Mo! Ómóng kók pathing pêcóthót, mêrajaléla ki åpå cobå?" "Hé... hé..., êmbúh Mas, wóng aku gúr mèlu-mèlu koran kaé kók! Níng tênan lho Mas, soalé síng diarah sakiki kantór-kantór manèh, biasané njikúk kónmutér, síng di jikúk åpå ya... anu, nèk ora salah jênêngé cé... pé... u." "Mbók nèk ra mudhêng ki takón sík, dadi nèk ómóng ora ngisin-isini, kónmutêr ki bèn mumêt på?! Síng bênêr ki kómputêr....., cah nèk ra tau mangan sêkolahan yå kåyå kowé kuwi...." Ngrungókké sindhirané kakangé, Karmo gúr njêgègès, malah têrús nêrangaké nganggo bahasa Indonésia. "Coba bayangkan dalam satu bulan saja di sêkitar kita ini sudah têrjadi lima kali pêncurian dan anèhnya sêpêrti di jadwal. Hari ini sêbêlah barat, dua hari kêmudian timúr, têrús sêlatan, utara... wah uédan tênan. Apa polisi tidak bêrtindak yå Mas?! Wah..... sungguh têrlalu!" Karmo nirókaké gayané salah sawijiné pêran ing sinêtrón Êntóng. "Iyå, aku ngêrti, têrús aku kón ngåpå?" sêmauré Pak Sarmín. "Lho.... Sampéyan niku pripún tho Mas, lha wóng kêmarin kan kantóré Mas Sarmín baru dapat kiriman lima sèt kómputêr lêngkap, pasti mêréka sudah tahu. Saya yakin lima ratús pêrsèn kalau sêbêntar lagi pasti mênjadi TO-nya para pêncuri itu!"."Kowé kuwi ómóngan nyêlót ra nggênah, lé mu sinau bahasa Indonésia ki nèngêndi to Mo, wóng yakin kók limangatús pêrsèn, éh.... Mo, TO kuwi åpå tó?" "Wah Mas Sarmín ki kurang gaúl tênan, TO itu singkatan dari Targèt Opêrasi!! you know?!... yå opêrasinya pårå pêncuri itu," Sarmo njawab karo nyêngèngès. "O... alah Mo... Mo, mbók nyêbút. Lha wóng kowé kuwi gúr lulusan kathók cêndhak waé kók kêmaki!"Durúng suwé anggóné pådå rêmbugan, Parjo katón nyêdhaki bapaké karo nggawa bungkusan. "Pún dangu, Lík? Niki kula tumbaské gorèngan, mumpúng taksíh angêt. Niki Pak kula tumbaské sês, rêmêné bapak!" Parjo ngulúngaké rókók marang bapaké. Karmo njawab pitakóné ponakané térús nyaút témpé gorèng lan lómbók rawít."Wah kowé kalêbu wóng síng untúng, Mas! Anak múng siji, gèk ngêrti marang wóngtuwå. Lha aku iki anak papat, jan blas ora ånå síng ngêrti siji-sijia. Åpå manèh nukókké rókók, isané ya nyêlêri rókóké bapaké! Parjo ki sakiki kêrja nènggêndi ta, Mas?" "Ora kêrjå åpå-åpå, nèk tak takóni jaré yå múng bísnís kêmbang karo kancané, kuwi lho... síng jênêngé Jêmani karo Gêlómbang Cinta åpå piyé? Aku ra pati mudhêng."
***
Wiwít soré råså atiné Pak Sarmín ora kêpénak, tansah was-was ora ånå jalarané. Biså ugå yå amarga pêngarúh ngimpiné dhèk wingi bêngi. Ngimpi síng kanggoné wóng-wóng jaman ndhisik ånå sasmita síng ora bêcík. Miturút piwulang Jåwå, ngimpiné ånå pérangan wêngi kang diarani puspåtajêm, miturút pårå pinisêpúh biyasané bakal numusi. Pak Sarmín ngimpi yèn untu nduwúr pathal siji. "Pak..., mbók rasah digagas, lha wóng ngimpi kuwi kêmbangé wóng turu...," ngono sêmauré bojoné rikålå dicêritani ngimpiné. Udåkårå jam wolu bêngi, Pak Sarmín mangkat mênyang kantór nindakaké pakaryané jågå malêm. Kirå-kirå jam sêtêngah siji bêngi Pak Sarmín wêrúh klébaté wóng loro kang nuju marang ruang kómputêr, sajaké nyubriyani, têrús dhèwèké ndhêdhêpi. Nyumurupi ruang kómputêr kasíl dibukak, Pak Sarmín katón gêmêtêr, sikilé kåyå dipaku nèng njogan. Pak Sarmín gumún, malíng saiki pancèn pintêr-pintêr tênan, lha wóng ruangan ånå kunciné kók biså dibukak kanthi gampang. Diwanèk-wanèkké, Pak Sarmín nyaút kayu póthólan sikíl kursi, nyêdhaki wóng loro kang mbukak ruang kómputêr, émané praupané wóng loro mau ora katon, amargo ditutupi nganggo topèng. Sawisé cêdhak, Pak Sarmín nggêtak sak rosané, dadi kagèté wóng sakklórón mau. "Arêp dhå ngåpå kuwi???" Krungu suarané Pak Sarmín, pawóngan síng isíh ånå njåbå kagèt têrús mlayu sipat kupíng. Luwih kagèt pawóngan síng isíh ånå njêro, rikåla mlayu mêtu dhadhané diantêm nganggo kayu sikíl kursi, "blukk!!!" tanpa sambat sak nalikå klêngêr, lan njêbabah ånå têras. Nyumurupi síng digêbúg ambrúk, Pak Sarmín tambah gêmêtêr, katón ngós-ngósan, têrús ndhéprók ånå cêdhakké pawóngan mau. Sakwisé gêmêtêré rådå mêndha, topèngé pawongan mau dibukak. "Lho... kók kowé, Parjo!" Pak Sarmín sémapút.
::Dening: P Dasihanto FD::
Kapethik saking : Jagad Jawa – Solopos
http://www.solopos.co.id
5. Gêlå
Asih unjal ambêgan barêng kumbahan síng pungkasan rampúng diucêk. Sabún buthêk tilas kumbahan disuntak, diganti banyu rêsík kanggo mbilasi. Nêngah-nêngahi mbilasi, Asíh kèlingan wêlingé ragilé mau ésok, sadurungé mangkat sêkolah."Aku gawèkna kolak yå, Mak," mêngkono panjaluké."Iyå," wangsulané Asíh cêkak. Kèlingan panjaluké anaké kuwi, Asíh ora nêrúsaké anggóné mbilasi. Mumpúng isíh ésok gagé ngadêg saprêlu blånjå kanggo gawé kolak. Ranti, ragilé kuwi, wiwít cilík angèl mangan. Awaké cilík. Tujuné kók isíh gêlêm módót, dadi ora kalah dhuwúr karo sabarakané. Mulå Asíh kêrêp nuruti yèn Ranti njalúk digawèkaké panganan."Arêp nyang êndi, Dhík?" Warsi, tangga pas kidulé, arúh-arúh."Têng nggéné Supi, Dhé War, blånjå," sauré Asíh tanpå mandhêg. Wayah ngéné iki lagi sêpi-sêpiné swasånå. Mêrgå síng sêkolah lan kêrjå wís pådhå mangkat, síng ånå ngomah iwut nandhangi pêgawéan omah. Asíh nyabrang. Dhèwèké kulinå nyidat dalan liwat kêbóné Mbah Tiah sabên arêp blånjå nèng pracangané Supi. Lagi waé têkan sabrang dalan, Asíh diawé Sutar, dudå tanggané síng taún-taún pungkasan iki wís katón ora sigrak. Jaréné kêna gêjala strok. "Mandhêgå dhisík Yu Síh." "Èntên nåpå, Mbah?" takóné Asíh. "Nuning kayané arêp babaran, Tulúng sampéyan ingúk..."Tanpå takón-takón manèh, Asíh mlaku rikat mlêbu omah. Tansåyå rikat barêng krungu tangisé bayi. Íng salah sijiné kamar, Nuníng, ontang-antingé Sutar kuwi nggléthak ånå ambèn kanthi dlèwèran kringêt lan êlúh. Íng sêlané sikíl ånå bayi abang gupak gêtíh síng nangís kêjêr."Gústi," sambaté Asíh mêruhi kahanan iku. Pådhå-pådhå wóng wadón síng wís ngrasakaké babaran, Asíh bangêt trênyúh ndulu kahanan síng ånå ngarêpé. Bayi síng isíh jangkêp karo ari-ariné énggal diupåkårå sabisa-bisané.
Asíh nolèh nalikå ånå wóng liya mlêbu kamar iku. Mbah Tiah.
"Andúm gawé nggíh, Mbah," ujaré Asíh. Wóng wadón tuwa iku tumandhang tanpå kakèhan ómóng. Ora suwé såkå têkané Mbah Tiah, Munah lan Lastri têrús mårå, njúr iwut nggódhóg banyu. Lastri kåndhå yèn wís kóngkónan ipéné supåyå ngaturi bidhan ugå njujuli Kandar, bojoné Nuníng. Asíh ngopèni síng bubar babaran. Awaké Nuníng disékå banyu angêt nganti rêsík."Yu Síh ki lho olèhé dhókóh. Kåyå nyang anaké waé," kandhané Lastri síng ngréwangi Asíh, ngringkêsi jarít-jarít rêgêt."Bèn ndang rêsík," múng kuwi síng mêtu såkå lambéné Asíh sinambi masang stagèn ing wêtêngé Nuníng.Kamångkå sêjatiné sênajan múng saklêpasan, nalika ngrêsiki gêtíh babaran iku Asíh kèlingan lêlakón síng wís mungkúr. Wêktu Nuníng isíh duwé anak siji lan panguripané durúng rêkåså kåyå saiki. Kajåbå omah síng wís tumåtå, Nuníng isíh duwé tinggalan dhuwít lan anggón-anggón cukúp såkå swargi ibuné. Nuníng njúr bribík-bribík gawé pracangan. Asíh isíh élíng nalikå dhèwèké mlaku rikat mênyang pracangané Nuníng saprêlu utang puyêr sakbungkús síng diajab bisa nyudå lårå untu síng disandhang bojoné. "Têlas, Dhé Síh puyêré," kandhané Nuníng. Asíh têrús kóngkónan anaké tanggané supåyå nukókaké puyêr. Bocah síng dikóngkón kêlakón nggåwå puyêr lan ómóng yèn tukuné nèng nggóné Nuníng. Asíh ora biså ngampêt nêsuné. Kók apík kowé, Mbak, diutangi puyêr siji aé muni êntèk barêng tuku kók têrus ånå. Urípmu kuwi durúng suwé, durúng kêsandhúng rêkasané!"Asíh ngundhåmånå. Síng diundhåmåné ora mangsuli.
"Wís, Pak, ora usah diombé. Mugå-mugå tanpå ngombé puyêr iki untumu bias mari," nêsuné Asíh durúng sudå wêktu têkan omah. Puyêr siji kuwi ora sidå diombé bojoné. Dadi tumbal gêni pawón síng mramóng. Bojoné Asíh múng trimå kêmu godhógan banyu surúh síng ditambahi uyah sithík. Nganti saiki untuné malah wís ora kumat manèh. Duwé anak loro, Yónó lan Titin, uripé Nuníng tansåyå mulúr malah rêkåså. Bojoné síng nalikå mantèn anyar bral-bról akèh dhuwít, ora ngêrti mêrgå åpå, ujug-ujug lèrèn såkå pêgawéané ånå kuthå. Kandar pungkasané múng biså dadi mantri pasar. Pêgawéan síng dilakóni múng sêtêngah dinå kuwi ora bisa nyukupi butúh sabên dinå. Kandar dhéwé ora mbudidya golèk tambahan pamêtu liyané malah sók kèli ombyaké togêl. Prancangané Nuníng kukút. Anggón-anggóné nganti bêkakas njêro omah kadól diijólaké butúh.
Awaké Nuníng tansåyå kuru. Katón luwíh tuwå tinimbang umuré. Jèngkèl síng dirasakaké Asíh nyang Nuníng wis sudå. Mula Nuníng wani nêmbúng utang dhuwit. Anggêr ditagíh pijêr sêmåyå. Wêrúh kahanan síng kåyå ngånå, Asíh malih ora ngarêp-arêp dhuwité. Apamanéh mèh sabên uwóng ngêrti yèn utangé Nuníng nganti têkan ngêndi-êndi. Asíh babar pisan ora ngira yèn bobotané Nuníng wis tuwå. Awaké síng bangêt kuru nyêbabaké wêtêngé ora katón gêdhi. Barêng wís ora isi bayi, wêtêng iku kaya kêlèt gêgêr. Tujuné Gústi Kang Maha Kuwasa isíh paring wêlas. Sênajan lair såkå ibu kang ora kêrumat awaké, bayiné Nuníng lair kanthi ora kurang sawiji åpå. Isíh ånå síng mårå nèng omahé Sutar. Patmi têkå bêbarêngan karo Bu Wulan, bidhan déså. Bidan iku njúr ngêthók pusêré bayi. Déníng bidhan têrús didusi sisan. Mêrgå ora ånå pasêdiyan wêdak bayi åpådéné lêngå têlón, bayi anaké Nuníng kêpêkså langsúng digêdhóng. Suwé sawisé ibu lan bayiné diupåkårå, bapaké bayi mêksa durúng têkå. Mångkå pasar iku ora adóh. Umpåmå mlaku waé kuduné wís têkan. Ånå síng budal nyusúl manèh.
"Orané tå, Mbak Nuníng, nalikå mbóbót síng kèri iki sampéyan åpå ora disênêngi Kandar?" takóné Asíh ati-ati. Sing ditakóni bali dlèwèran luhé. "Mas Kandar mbotên purún ngakèni nèk niki yogané kók, Dhé Síh..." Nuníng kêråntå-råntå. "Kandhané Bapaké Yono, wóng mêsthi ditókakên wontên njawi kók sagêd ngandhút." "Lha nèk ora ngakoni kuwi rumangsané Kandar iki anaké såpå?" gênti Mbah Tiah síng ndhêdês karo srêngên. "Têrosé yogané Bapak... kulå ngantós sumpah-sumpah yèn pancèn iki yogané Bapak kêrså né mbótên sisah lair." Síng krungu nganti sawêtårå ora biså ngucap. "Sawangên tå, Dhúk, gèk anakmu iki nggåwå rupané såpå? Wóng jênah jèblês Kandar ngånå lho!" Mbah Tiah mbukani ómóng, mêcah sêpiné kamar. "Karomanèh åpå Bapakmu wís mingêr yèn tumindak ngono nèng kowé." Sawisé ngêrti yèn mangkono kêlakuané Kandar, Asíh lan Mbah Tiah tumandang nggêntèni tanggúng jawabé bapaké bayi, ngrêsiki ari-ari. "Sampéyan sêbút Mbah, mêngké yèn èntên napa-napané kêrsané bapaké bayi niki síng nanggúng," ujaré Asíh gêtêm-gêtêm. Nganti síng nusúl wís ngayahi pêgawéané manèh, Kandar mêkså durúng ngatónaké irungé. Pisan iki wóng-wóng síng ånå kånå njalúk tulúng RT supåyå marani Kandar. Síng pådhå réwang isíh durúng bali. Nêrúsaké nggawé jênang abang jênang sêngkålå. Kabèh wís biså nglênggånå yèn bayi kang nêmbé lair iku ora dibrókóhi kåyå adat ing déså kånå.
"Nyuwún pangapuntên sadèrèngipún nggíh, Bu, kulå badhé matúr," kandhané Asíh nèng Bu bidhan. "Nggih, Dhé, wóntén nåpå?" "Mbók bilih mangké Mbak Nuníng badhé suntík KB lan mbótên gadhah dhuwít, njênêngan suntik mawón nggih, Bu. Wóng kawóntênané nggíh kadós ngatên. Mêsakakên mênawi gadhah mómóngan malíh," têmbungé Asíh nglancangi. "Nggíh, Dhé Sih, kulå mbótên kawratan," wangsulané bidhan ayu iku, nglêgakaké. "Mênawi ngêrsakakên suntík mangga mawón, Mbak Nuníng, tindhak griya kulå." "Matur nuwún, Bu," kandhané Nuning. Nyatané RT kuwagang nggåwå mulíh Kandar. Lagi mathúk lawang wís dipapag Asíh. "Mas Kandar, tulúng sampéyan tumbasakên wêdhak bayi lan minyak têlón," pakóné Asíh kanthi sarèh. Ora ngatónaké rasané. Rampúng kabèh síng kudu ditandangi ånå omahé Nuníng, Asíh mulih bêbarêngan karo tånggå liyané. Ora sidå blånjå mêrgå wis kawanên. Têkan ngarêp omahé Warsi, Asíh wêrúh síng duwé omah lagi dóndóm cêdhak lawang. Kêbênêran wóngé nolèh barêng ngêrti klébaté. "Dhé War, kulå wau sampéyan takèni mungêl badhé blanja. Tibané mbótên sidå. Mbak Nuníng babaran," ora nganggo ditakoni, Asíh sêngaja muni. "Aku ora krungu é Dhik," wangsulané Warsi, måråtuwané Nuníng. "Putu sampéyan síng nêmbé lair niki èstri. Ayu blóngór. Jan jêblès bapaké," Asíh njúr bablas mulíh. Ora ngêntèni tanggêpané Warsi. Múng mbatín yèn simbók karo anak kók pådhå waé, ora ånå síng kêna dipilíh. Mokal mênåwå Warsi nganti ora ngêrti yèn Nuníng babaran. Omahé Nuníng isíh biså disawang cêthå såkå omahé Warsi. Gèk tånggå síng mårå ugå akèh. Pancèn wís sawêtårå suwé måråtuwå lan mantu iku anggoné ora cócók. Asíh ora ngêrti sêbab síng sabênêré. Asíh uga éthók-éthók ora ngêrti bab ora cócóké Nuníng lan Warsi.
Durúng nganti sêpasar, Asíh krungu yèn bayi wadón anaké Nuníng iku arêp diwènèhaké uwóng. Síng ngêpèk sêduluré Sari síng wís suwé omah-omah níng durúng duwé mómóngan lan manggón ånå kuthå. "Kandar dhéwé kók, Yu Síh, biyèn síng tåwå-tåwå mbókmênåwå ånå wóng síng gêlêm ngêpèk anaké. Sadurungé babaran kaé. Aku krungu têrus crita nyang sêduluré bojoku síng tau rasan-rasan arêp golèk anak pupón. Golèké síng cêthå wóng tuwané sakêlórón. Mulå yå têrús digêlêmi déníng sêduluré bojoku," kandhané Sari dåwå nèng Asíh sing nlêsíh kabar mau. Bubar sêpasar anaké Nuníng digåwå wóng síng ngadopsi.
Ora nganti sêwulan, nalika anggóné mélu lårå ati mêrga wêrúh pokalé Kandar isíh dirasakaké, Asíh wêrúh Nuníng lan Kandar gojèg nèng iringan omah. Wóng loro katón rukún sajak wís nglalèkaké kêdadéyan-kêdadéyan sadurungé. Asíh malah gêlå. Åpåmanèh sawisé ngêrti ing sasi-sasi sabanjuré Nuning ora mårå suntik KB nèng Bidan Wulan.
::Dening: Dhiana Andriyani::
Kapethik saking : Jagad Jawa – Solopos
http://www.solopos.co.id
3.2. Analisis Unsur Intrinsik Cerkak
Cerkak (1)
Judul : Mbok Karto
1. Tema :
Tema dari cerkak ini adalah perjuangan menghidupkan ekonomi seorang janda yang ditinggal mati suaminya dengan berdagang jualan sob kikil yang pelanggannya pasasng surut dan berupaya agar dagangannya laris.
2. Plot/ alur
Alur yang dipakai adalah Campuran yaitu pertama pengarang dalam menceritakan masa lalu mbok kartu yang julan sudah tiga puluh tahun dan yang kedaua sudah lima tahun saat sekarang menempati los baru di pasar yang dagangannya bertambah menurun.
2. penokohan
Dalam cerkak ini terdapat satu tokoh utama yaitu mbok karto dan tokoh pendamping yaitu Tiwi dan tokoh bayanagan yaitu suami Mbok Karto.
Tokoh utama mbok karto adalah orang sabar dan ulet bagaimana memperjuanagkan hidupnya bahkan melalukan hal konyol dengan memakai rok mini yang dipakai Tiwi saat Tiwi masih bersamanya Untuk berjualan, karena Tiwi pergi tanpa pamit maka dagangannya sepi kembali agar dagangan laris kembali saat seperti masih ada Tiwi maka Mbok Karto memakai rok mini yang dipakai Tiwi yang seksi untuk mesarik pelanggan.
Pada penjelasan diatas dapat dilihat dari data berikut :
”Mbok Karto bisane mung ngonggo-onggo ana pojok bangku dawane maneh, nganti sawijining esuk ana kedadeyan kang gawe geger wong akeh. Wong sa pasar padha gemrudug menyang panggonan loakan, kabeh suk-sukan mung kepengin ndeleng Mbok Karto anggone dodolan Sop Kikil nganggo rok mini pink, kaya sing biasane dienggo Tiwi”
Tokoh pendamping adalah Tiwi yaitu tiwi sebagai tokoh yang dihadirkan seorang pengarang untuk mendampingi tokoh utama dalam perjalanna hidupnya dan memberi warna dalam kehidupan Mbok Karto yang asalnya dagangan mbok karto yang sepi dengan datangnya Tiwi dagangannya laris kembali karena tiwi mempunyai tubuh yang seksi dan wajah yang cantik dapat kami sajikan data sebagai berikut
“Tekane Tiwi ana warunge Mbok Karto nggawa pangaribawa gedhe. Sing maune wis endrap-endrip arep mati, sepi, saiki rame maneh. Kabar sumebar yen Mbok Karto anggone dodol Sop Kikil dibantu ponakane kang ayu lindri-lindri. Warunge mbok Karto dadi regeng maneh, senajan diakoni sing andhok ing kono, mung kepengin weruh Tiwi sing ayu, kanthi rok mini lan klambi sing ketat sahengga saranduning awake kang endah katon kabeh. Senajan kentekan Sop Kikil nanging ora gela, jalaran sing baku bisa ndeleng lenggak-lenggoke lan eseme Tiwi.”
Tokoh bayangan yaitu tokoh yang hanya diceritakan tetapi tidak ditampilkan dalam cerita ini yaitu tokoh suaminya Mbok karto yang telah lama meninggalkan Mbok Karto. Saya sajikan data sebagai berikut :
“Saungkure sing lanang udakara sepuluh taun jalaran tinggal donya, wadon tuwa kuwi tetep nerusake anggone dodolan mbukak usaha dhewe.”
3. setting
setting mempunyai tiga bentuk yaitu setting tempat, waktu dan sosial. Dalam cerkak ini setting yang digunakan oleh pengarang meliputi tiga bentuk itu sebagai berikut :
1. setting tempat, pengarang meletakkan setting di sebuah los pasar dan dirumah Mbok karto
“Nanging wektu iki, para pelanggan saya suwe saya suda, kepara malah ilang. Menu masakan Mbok Karto Kikil, mangkono tangga-tanggane yen ngundang, kegolong istimewa. Biasane, Sop Kikil alot yen dicakot, nanging sing iki beda. Ana tangane Mbok Karto, kikil kang alot mau dadakan dadi empuk nyamleng jalaran bumbune mrasuk ana ing pori-pori. Ana maneh sing istimewa, teh nasgithel cem-cemane wong tuwa kuwi nikmat, seger ora ana tunggale. Papane ndhewe ana pojok mburi, ora dadi siji karo papane wong dodol ratengan liyane, nanging malah cedhak karo bakul barang loakan. Mbok Karto bisa ngenggoni kapling nyleneh mau, gara-gara papan kang dadi hak-e wis didol marang pedagang anyar.”
2. setting waktu, pengarang meletakan setting waktu hanya menyebutkan berapa lama Mbok Karto jualan dan Tiwi menemani Mbok Karto. Saya sajikan data sebagai berikut
“Kamangka yen dietung-etung meh telung puluh taun, kepara luwih anggone dodolan Sop Kikil.”
3. setting sosial, pengarang meletakkan setting sosial pada kehidupan Mbok Karto yang sebagai penjual sob kikil disebuah los pasar dan Tiwi yang menemani yang suka memakai rok mini agar pengunjungya banyak yang datang. Saya sajikan data sebagai berikut :
“Saungkure sing lanang udakara sepuluh taun jalaran tinggal donya, wadon tuwa kuwi tetep nerusake anggone dodolan mbukak usaha dhewe. Biyen sadurunge pasar paling gedhe ing kutha kabupaten kuwi dibangun, warunge laris manis. Semono uga nalikane isi ana papan penampungan sajroning pasar kuwi dibangun.”
4. point of view
Pada penyudut pandangan pada cerkak ini menggunakan orang ketiaga yaitu Narrator amniscient adalah narator atau pengisah yang berfungsi sebagi pelaku cerita. Karena pelaku adalah pengisah, maka akhirnya pengisah juga merupakan penutur yang serba tahu apa yang ada dalam benak pelaku utama maupun sejumlah pelaku lainnya baik secara fisikal maupun psikologus.
“Wis sore ndhuk, apa ora bali?” pitakone diwanek-wanekake. Dumadakan wadon ayu malah ndhelikake raine, ungkep-ungkep ana meja, nangis. Mbok Karto mlongo. Nalurine minangka ibu age-age, nyedhaki. Baune wadon ayu mau dicekel “Ana apa ndhuk?” Raine diangkat, katon mripate kaca-kaca. Sabanjure tanpa sungkan-sungkan ngebrukake raine ana pangkone Mbok Karto. Nerusake anggone nangis, nganti jarite Mbok Karto teles kebes. “Ndhuk, gelem mulih menyang nggone simbok, ya? Mengko bisa crita-crita sing luwih dawa,”.
Carkak Nomor (2)
Judul : Tumbal
1. Tema :
Tema dari cerkak ini adalah berbuat jujur itu sungguh sulit dan tidak gampang dan seringkali orang yang duduk di kursi pegawai yang jabatannya sudah tinggi akan bertindak tidak jujur dan berkorupsi. seperi yang dilakaukan oleh Har sebagai bahawan yang ingin bekerja dengan jujur dan sabar pasti akan selamat walau diiming-iming harta yang banyak unuk berkorupsi pasti akan selamat dan orang yang bekerja dengan tamak dan rakus serta tidak jujur maka pasti akan mendapat hukuman seperti atasannya yaitu Drs. Sengkuni. Yang rakus dan tamak untuk berkorupsi.
Dapat saya sajikan data sebgai berikut :
Pancèn iki dudu masalah síng ènthèng, awít proyèk iki gungungé mèh nêm bêlas mílyar rupiah.Síng kudu di-mark up mèh sêpulúh míliar dhéwé. Åpå ora édan-édanan. Nangíng piyé manèh. Aku iki múng bawahan kudu loyal mênyang atasan. Awít yèn ora biså-biså aku dilórót jabatanku.Kamångkå ngêrti dhéwé kanggo ningkataké karir íng kantór iki ora barang síng gampang.Awít mèh wólulas tahún anggónku bêrjuang ngrintís karir, wiwít gólóngan têlu A nganti sak iki biså dadi Kasubag sak wijiníng kantór. Mêsthi waé dudu bab síng gampang.Kåyå aku dhéwé síng wêktu iki kêlêbu ånå bagian síng êmpúk.Ora sithík síng pådhå kêpéngín biså nglungguhi kúrsiku iki.
2. Plot/ alur
Alur yang dipakai adalah Campuran yaitu pertama pengarang dalam menceritakan keadaan Har yang bekerja di perusahaan dan kemudian menceritakan istri Har yang dulunya menjadi Dosen di Perguruan Tinggi Swasta dan kemudian menceritakan kehidupannya kembali bersama Bosnya yang ada di kantor.
3. penokohan
Dalam cerkak ini terdapat satu tokoh utama/protagonis yaitu Har dan tokoh antagois yaitu Drs. Sangkuni SH MBA. Dan tokoh figuran Makino dan Endah dan tokoh bayanagan yaitu Nani.
1. Har (Tokoh utama/protogonis) : sebagai bawahan yang jujur dan tidak mau korupsi dan sabar atas segala kelakuan juragannya /atasannya.
Data yang saya sajikan :
“ Aku wís ngrumangsani yèn karirku mbók mênåwå bakal mêntók. Awít wêktu iki Pak Sêngkuni, atasanku ora gêlêm nyåpå arúh marang aku. Sabên-sabên dhèwèké butúh, mêsthi Dik Wísnu síng diundang ånå kantór. Lan tingkah kang kåyå mangkono mau disêngåjå ovêr acting nèng ngarêpé pårå bawahan.Aku rumångså korban pangråså. Awít såpå wóngé síng kuwat dipêrlakukan kåyå mangkono. Nangíng aku nyoba sabar. Karo íng batin tansah ndêdongå, mugå-mugå Pak Sêngkuni diapurå dosané déníng Gusti Allah, sartå dibukakaké atiné supåyå ora bangêt-bangêt anggóné nêsóni aku.Lan”
2. Drs.Sangkuni SH MBA(Tokoh antagonis) : atasan yang serakah dan tamak serta suka korupsi dan menginjak anak buah yang tidak mau diajak kerja sama.
"Wís tå Dík Har, ora sah dipikirké abót-abót. Soal wóng såkå KPK, mêngko aku síng mback-up wís," mangkono pangandikané atasanku kasêbút íng sak wijiníng wêktu nalikå aku ditimbali íng ruangé."Síng pêntíng kowé biså ngolah ångkå-ångkå iku kanthi layak.Masalah liyané mêngko aku síng ngatúr," sêsambungé Pak Sêngkuni karo ngêpúk-êpúk pundhakku”
3.Makino dan endah (Tokoh figuran) : bawahan yang tidak mau diajak sekongkol untuk korupsi karena dia bertanggung jawab.
“Ibaraté Dhík Wakino karo Éndah kuwi think-tank-ku. Sangénggå aku bangêt mbutúhaké bantuané dhèwèké."Nèk masalah ångkå gampang diowahi, Mas. Múng síng dadi masalah iki tanggúng jawabé abót awít nyangkút dana síng ora sêthitík," ujaré Dhík Wakino."Nangíng têrús piyé Dhík? Bós wís nêtêpké kudu biså. Yèn ora awakké dhéwé kudu siap ninggalké kantór iki,"
5. Nani (tokoh pendamping ) : sabar dan istri yang sholehah, tidak mau suaminya terlibat korupsi..
"Pancèn abót posisi panjênêngan, Pah. Awít iki diléma. Yèn njênêngan wêgah, mêsthi bakal dilórót. Nangíng yèn pênjênêngan tindakké, abót résikoné," komêntaré sisihanku sak wisé tak critani pêrmasalahanku."Ya kuwi síng gawé bingúngku. Lha trús aku kudu piyé?" "Yúk awakké dhéwé tahajúd, nyoba nyuwún tuntunan Gusti Allah, såpå ngêrti mêngko njênêngan olèh pêpadhang,
4. setting
setting mempunyai tiga bentuk yaitu setting tempat, waktu dan sosial. Dalam cerkak ini setting yang digunakan oleh pengarang meliputi tiga bentuk itu sebagai berikut :
a. setting tempat, pengarang meletakkan setting di sebuah perkantoran tempat bekerja dan rumah dimana tempat Har berdiskusi dengan istrinya ketika ada masalah dikantor
b. setting waktu, pengarang meletakan setting waktu ketika menceritakan sudah lama perjuangan Har untuk menempati kedudukan menjadi Kasubag di kantornya tempat bekerja
c. setting sosial, pengarang meletakkan setting sosial pada kehidupan Har yang bekerja sebagai Kasubag dikantor dan rekan-rekanya bekerja dan mempunyai atsan yang tamak dan Rakus akan harta.
5. point of view
Pada penyudut pandangan pada cerkak ini menggunakan orang pertama yaitu Aku. Dan memakai orang ketiaga yaitu dia dan juga pengarang sebagai Narrator amniscient adalah narator atau pengisah yang berfungsi sebagi pelaku cerita merupakan penutur yang serba tahu apa yang ada dalam benak pelaku utama maupun sejumlah pelaku lainnya baik secara fisikal maupun psikologus.
Carkak Nomor (3)
Judul : Tamu Kang Pungkasan
1. Tema :
Tema dari cerkak ini adalah bahwa orang yang masuk ke lembah lokalisasi adalah orang sama halnya dengan orang yang hidupnya bersosial normal dan yang bukan Amoral. Mereka kelembah itu karena terpaksa untuk mempertahankan hidup yang disebabkan oleh himpitan ekonomi. Dan mereka juga ingin hidup layaknya manusia juga ingin mempunyai suami yang sah dan hidup bahagia berdua.
2. Plot/ alur
Alur yang dipakai adalah alur maju, menceritakan kehidupan ketika mendapatkan tamu yang terakhir dan pualng kekampung kemudian tamu yang datang ingin mempersunting dirinya menjadi istrinya
3. penokohan
Dalam cerkak ini terdapat tokoh utama yaitu sunti yang sebagai PSK yang ingin bertobat dari pekerjaannya dan mendapatkan suami hidup berbahagia berdua dengan kehidupan yang baru.
Dapat saya sajikan data berikut :
”Ora kråså lúh têmètès ing pipiku, uríp kók múng kåyå ngéné, gèk súk kapan aku biså mêntas såkå panggónan iki? Dhúh,... Gústi Allah paringånå pitudúh mêrgi íngkang lêrês lan pinanggihnå jodho íngkang saé. Aku unjal ambêgan landhúng, gèk kåyå aku iki åpå ånå wóng lanang síng sudi mêngku? Níng aku pêrcåyå yèn Gústi Allah iku ora saré, sakwijiníng dinå mêngko aku bakal kêtêmu jodhoku”.
Dan tokoh pendamping yaitu Bagus seorang leleki yang dulunya juga punya pekerjaan yang Amoral yang juga ingin bertobat dengan mempersunting sunti mejadi istrinya. Dapat saya sajikan data sebagai berikut :
"Dhík Sutinêm síng dak trisnani"Wiwít kêtêmu karo sliramu ing papan kånå kaé, aku dadi kêpingín omah-omah karo sliramu. Bab såpå tå sliramu aku kabèh wís mangêrtèni, nangíng åpå sliramu ngêrtèni aku lan såpå tå sêjatiné aku iki? Barès waé ya dhík, aku iki wóng lanang síng ora bédå karo sliramu. Tumindak nistå lan ålå kabèh waé wís naté dak tindakaké. Nangíng aku péngín marèni kabèh mau sakdurungé kasèp. Mula yèn sliramu gêlêm dak jak uríp bêbarêngan nyabrang íng samodrå bêbrayan agúng, ayo dhík wangsulana layang iki, gêlêmå Dhík Sutinêm dak jak uríp anyar íng sakjêroníng balé somah kang rêsmi lan ayo pådhå uríp kang anyar, uríp kang kêbak laku utåmå sanajan múng uríp sarwå prasåjå, wís bèn lêlakónmu lan lêlakónku dikubúr barêng-barêng lan dilarúng íng samodra pangapurå.
Tokoh bayangan teman-teman sunti yang sudah keluar dari lokalisasi karena dinikahi orang. Dapat saya sajkan data sebagai berikut :
Mbak Éndah dipèk bojo sopír trêk lêngganané malah nyatané saiki biså uríp bagyå múlyå íng ndéså. Dhík Hèsti ugå dipèk bojo wóng lanang sanajan múng dadi mbók ênóm anangíng kabèh kêbutuhané biså dicukupi, Éndang kancaku sak kampúng ugå diwêngku wóng lanang sanajan wís rådå sêpúh yuswané nangíng nyatané gêmati bangêt malah saiki diparingi putrå.Bubar macak kåyå biyasané aku lungguhan íng têras omah,
4. setting
setting mempunyai 2 bentuk yaitu setting tempat, dan sosial. Dalam cerkak ini setting yang digunakan oleh pengarang meliputi tiga bentuk itu sebagai berikut :
a. setting tempat, pengarang meletakkan setting di sebuah lokalisasi dimana tempat sunti bekerja. Dapat sasya sajikan data sebagai berikut:
”Pancèn wiwitané aku ora sêngåjå mlêbu papan èlèk síng diarani lokalisasi, nangíng kabèh amargå kêpèpèt kahanan, biyåså... masalah klasik síng diadhêpi pawóngan síng uríp íng padésan, kurang pangan lan sandhang lan ora kuwat ngadhêpi sanggan uríp, gèk kamóngkó síng jênêngé golèk pênggawéyan iki angèlé jan ngêpól tênan.”
b. setting sosial, pengarang meletakkan setting sosial pada kehidupan sunthi yang sebagai pekerja seks komersil. Dapat saya sajikan data sebagai berikut :
Bubar macak kåyå biyasané aku lungguhan íng têras omah, biyåså,... mancíng iwak alias nggodhå wóng lanang síng kêpéngin awaké dikêpénakaké sanajan múng sêdhélå, syúkúr yèn gêlêm nginêp sêwêngi, wah... mêsti bayaran síng dak tåmpå lumayan kanggo sangu mulíh mênyang ndéså."Mampír Mas,"... godhaku nalikå ånå sakwènèhíng pawóngan mlaku ijèn karo miling-miling nyawang têras póndhókanku,
5. point of view
Pada penyudut pandangan pada cerkak ini menggunakan orang pertama yaitu Aku. Dan memakai orang ketiaga yaitu dia dan juga pengarang sebagai Narrator amniscient adalah narator atau pengisah yang berfungsi sebagi pelaku cerita merupakan penutur yang serba tahu apa yang ada dalam benak pelaku utama maupun sejumlah pelaku lainnya baik secara fisikal maupun psikologus.
Carkak Nomor (4)
Judul : Dúrjånå
1. Tema :
Tema dari cerkak ini adalah orang itu tidak bisa dilihat dari luarnya saja, tidak semua orang yang kelihatan kelakuan baik dan sopan dia itu baik. Karena manusia jika sudah terdesak dan kepepet tidak punya uang dan tidak kuat imannya maka orang itu akan melakukan apa saja termasuk mencuri sepertii yang dilakukan oleh parjo yang kelihatannya baik tapi dia hantam oleh bapaknya sendiri karena mencuri.
2. Plot/ alur
Alur yang dipakai adalah alur maju, menceritakan kehidupan seorang penjaga perkantoran pemerintah yang mempunyai anak laki-laki yang ingin menjadi polisi. Karena sudah daftar dua kali tidak lulus dan dia menganggur belum kerja yang didamkan keluarganya menjadi seorang yang baik dan luhur malah dia menjadi pencuri ditempat kantor bapaknya berjaga.
6. penokohan
Dalam cerkak ini terdapat tokoh utama yaitu pak sarmin yang bekerja sebagai penjaga malam disebuah perusahaan swasta dan berambisi anak satu-satunya dijadikan polisi tapi malah anaknya jadi poencuri.
Dan tokoh pendamping yaitu Parjo seorang leleki yang baik kesehariannya yangsudah dua kali daftar polisi tidak lulus dan dia penganguran sehingga entah kenapa dia malah menjadi pencuri ditempat bapaknya bekerja jaga malam.
Tokoh figuran yaitu karmo adiknya laki-lakinya pak sarmin dia orang yang sok tau dan lucu yang dengan sok modern.
7. setting
setting mempunyai 2 bentuk yaitu setting tempat, dan sosial. Dalam cerkak ini setting yang digunakan oleh pengarang meliputi tiga bentuk itu sebagai berikut :
a. setting tempat, pengarang meletakkan setting di sebuah kantor pemerintahan
b. setting sosial, pengarang meletakkan setting sosial pada kehidupan pak sarmin sebagai penjaga kantor pemerintahan yang sering didatangi pencuri.
8. point of view
Pada penyudut pandangan pada cerkak ini menggunakan orang ketiga yaitu yaitu dia dan juga pengarang sebagai Narrator amniscient adalah narator atau pengisah yang berfungsi sebagi pelaku cerita merupakan penutur yang serba tahu apa yang ada dalam benak pelaku utama maupun sejumlah pelaku lainnya baik secara fisikal maupun psikologus.
CERKAK KE (5)
Judul : Gêlå
1. Tema :
Tema dari cerkak ini adalah hidup bermasyarakat haruslah saling tolong menolong dan menghargai kebaikan orang yang menolong walau sekecil apapun dan jangan penah bosan untuk saling mengingatkan.
2. Plot/ alur
Alur yang dipakai adalah alur campuran yaitu maju mundur, menceritakan kehidupan Asih seorang ibu rumah tangga yang ringan tangan istilahnya suka membantu walaupun orang yang dibantu itu pernah menyakitinya.
9. penokohan
Dalam cerkak ini terdapat tokoh utama yaitu asih seorang ibu rumah tangga yang menolong tetangganya yang bernama Nuning yang dulu peranah menyakitinya, walaupun pernah disakiti tidak sedikitpun pernah untuk membalas dendam malah membantu Nuning pertama kali sebelum orang lain menolongnya ketika saat nuning melahirakan.
Dan tokoh pendamping yaitu Nuning tokoh yang hidupnya tidak enak karena ketiaka melahirkan anaknya tidak diakui oleh suaminya dan tidak mau berKB
Tokoh figuran yaitu mbok Tiah yang baik yang juga menolong kepada nuning saat melahirkan.
10. setting
setting mempunyai 2 bentuk yaitu setting tempat, dan sosial. Dalam cerkak ini setting yang digunakan oleh pengarang meliputi tiga bentuk itu sebagai berikut :
a. setting tempat, pengarang meletakkan setting di perumahan penduduk
b. setting sosial, pengarang meletakkan setting sosial pada kehidupan Asih dengan masyarkat setempat dan tetangganya yang kadang membuat Asih marah karena tidak bertepo selero.
11. point of view
Pada penyudut pandangan pada cerkak ini menggunakan orang ketiga yaitu dia dan juga pengarang sebagai Narrator amniscient adalah narator atau pengisah yang berfungsi sebagi pelaku cerita merupakan penutur yang serba tahu apa yang ada dalam benak pelaku utama maupun sejumlah pelaku lainnya baik secara fisikal maupun psikologus.
BAB IV
PENUTUP
4. 1. SIMPULAN
1. Untuk memahami sebuah cerkak perlu pengkajian yang lebih dalam agar bisa benar-benar dipahami. Dan pesan pengarang kepada pembaca dapat tersampaikan .
2. Pengkajian ini perlu untuk mengetahui lebih dalam sastra daerah
3. pengakajian ini dapat diambil berbagai pegalaman pengarang cerkak tentang kehidupan.
4. pengkajian ini memberikan sumabangan pemahaman tehadap kumpulan cerkak yang telah dipilih penulis untuk danalisis.
4.2. KRITIK DAN SARAN
Dalam analisis ini tentunya masuih jauh dari sempurna dan saya memomohon dari semua pihak yang membaca analisis ini untuk memberiakan saran dan kritikannya yang membangun agar analisis ini menjadi sempurna. Dan saya berharap analisis ini bermanfaat dan dapat dibaca oleh semua kalangan sehingga menjadi khasanah ilmu pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Endraswara, Suwardi.2004. Metodologi Sastra.Yogyakarta: Pustaka Widyatama
Ratna, Nyoman kuta.2004. Teori dan teknik penelitian sastra. Yogyakarta :Pustaka Pelajar.
Faizah, Nur. 2001. Bahasa dan Sastra Indonesia. Kirana OFFSET:Jombang
Ratna, Kutha Nyoman. S.U. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Belajar.
Sudikan, Yuwana Styo. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan. Citra Wacana:Surabay